Sajian saat kenduri adhek kuda-kuda, sayang ngeblur ya dan lupa ngambil foto pas kendurinya |
Kali pertama kami membangun rumah, kali pertama pula ini kami alami, selamatan untuk adhek kuda-kuda seperti yang sebelumnya aku ceritakan di sini. Harapannya ini bukan yang terakhir, ingin membangun lagi untuk kos-kosan. Ya, impianku adalah memiliki bangunan rumah atau kamar khusus untuk disewakan tiap bulan.
Dalam tradisi jawa ketika pembangunan rumah sudah pada proses adhek kuda-kuda, disertai dengan kenduri atau selamatan. Beda-beda tradisinya, ada yang dengan melakukan open house mengundang orang sekampung. Tidak serta merta, orang kampung juga membawakan oleh-oleh untuk kita istilahnya menyumbang entah beras, minyak, gula dan sebagainya. Itupun menurut pengamatanku pada tetangga sebelah yang notabene orang bali mengatakan, ingin membantu aku ketika sudah proses adhek kuda-kuda sebagai penerima tamu. Bingung juga karena kami tak menyebar undangan. Etapi aku juga yang luput pengamatan, di kampung sebelah juga demikian tradisinya. Tergantung niatnya juga, kami cukup kenduri saja.
Adat sebenarnya bukan pada proses adhek kuda-kudanya, melainkan pada proses kendurinya. Apa saja yang disajikan dan apa saja yang disajikan? Menurut pengamatanku, sajian untuk selamatan adhek kuda-kuda tak ada bedanya dengan sajian umum adat jawa biasanya yang terdiri dari; ayam panggang, sego golong, bubur sengkolo, nasi kebuli atau nasi kuning. Itupun optional tergantung kepercayaan juga sih. Kami berusaha mentaati orang tua selagi itu baik dan tak menyalahi akidah. Toh sama halnya dengan berbagi alias shodaqoh.
Apa saja sajian untuk selamatan adat jawa terutama untuk adhek kuda-kuda yang baru saja aku jalani hari ini? Berikut beserta makna dan simbol-simbolnya:
1. Sego Golong Sejumlah 9 Golong
Sego adalah nasi, sementara golong adalah gelonggong atau bulatan nasi, yaitu nasi yang dibulat-bulat sejumlah 9. Dimaksudkan agar rezeki yang punya hajat, golong-golong. Ibaratnya kalau sak golongan itu se gelonggong, kalau golong-golong diharapkan rezekinya lebih banyak bergelonggong-gelonggong. Sementara jumlah sembilan hanya sebagai simbol wali di jawa ada 9. Kenapa mesti wali? Setahuku walilah yang mengenalkan Islam melalui adat-adat jawanya.
2. Nasi Kuning atau Nasi Kebuli
Fisik nasinya memang berbentuk kuning sehingga sering disebut nasi kuning. Secara filosofi nama nasi ini adalah kebuli, bukan nasi kebuli arab. Tetapi maksud dari nasi kebuli adalah Kabul. Supaya doa dari yang punya hajak juga terkabul.
3. Bubur Sengkolo
Sama saja seperti bubur lainnya. Sengkolo hanya istilah dari bubur merah putih. Bisa dari bubur beras atau bubur tepung. Asalkan warnanya merah putih. Warna merahnya bukan merah asli yang ngered. Tetapi merahnya berasal dari gula merah atau gula aren yang sejatinya jika dimasak tak menghasilkan warna merah melainkan warna coklat. Begitupun dalam bubur tetap orang menyebutnya sebagai bubur merah. Sementara putihnya bisa jadi dari bubur tersebut dibagi menjadi dua bagian, menggunakan gula pasir (putih) dan satunya menggunakan gula merah dalam satu piring. Tetapi ada juga yang putihnya cukup menggunakan santan atau taburan kelapa. Yang penting nampaknya merah putih layaknya lambang bendera negara kita Merah Putih. Tetapi secara filosofi, sengkolo dimaksudkan adalah musibah atau balak. Sebagai pengharapan agar pemilik hajat bisa terhindar dari musibah yang akan menimpanya.
4. Jajan Pasar
Adalah makanan ringan. Bisa berupa snack atau makanan ringan lain yang terdiri beraneka ragam rupa dan rasa. Memang jajan pasar dianjurkan lebih dari satu macam sebagai simbol keragaman hidup bertetangga agar tetap tenggang rasa dan hidup rukun bersama.
Empat utama tersebut yang penting yang aku amati dalam sajian tadi, sementara untuk ayam panggang, sayur urap-urap kelapa, sampai rempeyek adalah pelengkap menu untuk kenduri. Berbeda lho dengan menu bingkisan atau berkatnya. Ada sendiri, berisi nasi, lauk-pauk dan jajan pasar. Isi biasanya terserah yang punya hajat. Kalau ibu mertua biasanya nasi dan urap-urap sudah sekalian dimasak dengan masakan yang untuk kenduri, sementara ikannya ayam goreng krispi yang tinggal membeli untuk mengurangi kerepotan.
Dan khusus pada moment adhek kuda-kuda ada bungkusan spesial buat tukang dan kulinya. Jika yang lain cuma dapat berkat, tukang dan kulinya dapat tambahan bingkisan pakaian sepengadek (satu badan). Mulai dari sarung, kaos/kemeja, dan kopiah (tapi kami ganti dengan sorban stock bingkisan bapak ibu pulang umroh).
Mulanya kemarin waktu aku ke Mall Ramayana sambil bermahendi ria, sejatinya adalah untuk membeli kaos juga. Kata suami kaos ini untuk bendera. Jangan tanya untuk bendera apaan, aku sendiri gagal paham. Apakah disobek-sobek dan diikat pada tiang rumah? Atau ditancapkan saat adhek kuda-kuda. Enggak. Kaos itu ya untuk para tukang dan kuli yang berjumlah 4 orang.
Ibaratnya mereka adalah yang akan memberdirikan kuda-kuda sehingga harus diberi seragam. Apa maksudnya? Ah enggak tahu juga. Baru ngeh tadi saat 4 kaos yang kubawa disatukan dalam bingkisan tersebut. Cuma diberikan gitu aja. Terserah mereka mau pakai atau enggak. Ya mana mungkin barang baru dipakai berkotor-kotor. Sampai aku tuliskan di sinipun aku masih gagal paham maksudnya, kaos itu sebagai bendera dan seragam kuli dan tukang? Ada yang tahu?
"...Kami berusaha mentaati orang tua selagi itu baik dan tak menyalahi akidah. Toh sama halnya dengan berbagi alias shodaqoh...."
ReplyDeleteMemang, banyak sekali adat Jawa yang dianggap sudah melenceng dari akidah. Padahal kalau mereka tahu esensi dari kenduri itu sendiri, maka tidak akan serampangan dalam menilai.
Paling seneng maem segovkenduren q mbk..enak hehe.....tp ndek jombang g pake nasi kebuli mbk ;)
ReplyDeletePagi mbk nunu...
Selamatan berupa sedekah yang dibagi-bagi kepada tetangga karena bersyukur telah diberi kenikmatan oleh Allah dapat membangun rumah sendiri disaat orang lain masih sibuk mencari uang untuk kebutuhan hidupnya. (terengah-engah ngetiknya tanpa koma dan titik)
ReplyDeletekaos sebagai bendera?
ReplyDeletekalo di tempatku pakai bendera beneran dipasang di kayu blandar yang paling tengah dan tinggi itu, Mbak.
Saya sih setuju saja mbak dan nurut apa yang jadi adat selama nggak menyimpang... Akhir2 ini mulai banyak yang menilai negatif tentang budaya jawa... itu harusnya dilestarikan :)
ReplyDeletetetanggaku di jawa meman masih pada make ritual begituan, mbak. tapi untungnya orang tuaku nggak pernah make. hehe
ReplyDelete