Bersilaturrahmi saat idul fitri memang menjadi tradisi masyarakat Indonesia, bersama keluarga, saudara, sahabat, termasuk juga dengan para alim ulama. Keberadaan para alim ulama dalam berdakwah mendapat kedudukan khusus dalam masyarakat karena kemuliaan yang mereka miliki. Sehingga memunculkan tradisi ngalap berkah ketika moment Idul Fitri seperti ini.
Menurut bahasa, ngalap memang berasal dari kata kalap alias rakus. Tetapi pada makna ngalap adalah banyak, pada acara ngalap berkah orang berharap mendapatkan berkah sebanyak-banyak dari para alim ulama. Sehingga bukan hanya satu dua ulama, semakin banyak ulama yang di datangi juga semakin bagus.
Karena tujuannya banyak dan rata-rata tempat para alim ulama jauh-jauh berada di luar kota. Tradisi ngalap berkah dilakukan bersama-sama alias rombongan. Bisa satu keluarga besar atau rombongan pengajian. Seperti yang aku ikuti minggu lalu bersama rombongan pengajian ibu-ibu warga Bringinbendo yang tergabung dalam rombongan satu bus besar dan satu mobil elf besar. Hmmm... ngebayangin ya gimana ramenya, semua ibu-ibu, bapak-bapaknya bisa dihitung ada 5 jari.
Tujuannya sudah ditetapkan, ulama sekitaran Mojokerto-Jombang-Gresik-Surabaya dan Sidoarjo. Karena waktunya yang mepet cuma satu hari, kami hanya bersilaturrahmi dengan 5 ulama yang masing-masing terwakilkan oleh 1 ulama.
Untuk wilayah Mojokerto kami sowan ke kediaman KH Masrihan Asyari yang juga merupakan pengasuh pondok pesantren Robithotul Ulum di daerah Tumapel Trowulan. Kiainya masih lumayan muda dan energik. Beruntung ketika kami berjodoh dengan Kiai. Pas sampai di kediaman beliau, kiai baru akan keluar untuk menghadiri undangan. Khas banyolannya, kami pun disambut dengan sedikit tausyiah meski sebentar. Tak sampai 20 menit, kemudian ditutup doa dan kami pun pamit melanjutkan perjalanan.
Dari kediaman Kiai Masrihan, rute selanjutnya menuju kediaman Gus Mansur, atau yang biasa dikenal dengan Kiai (maaf) cebol. Tapi sebelum ke sana kami sempat mampir ke ziarah ke Troloyo, makam ayah sunan Ampel dan makam sunan Ngudung, yang masih satu daerah di Trowolan.
Kediaman Gus Mansur sendiri berada di Mojoagung, Jombang. Ziarah paling lama di tempat ini, saking banyaknya yang ingin bersilaturrahmi dengan Gus Mansur sekeluarga. Ditambah dengan sholat Dzuhur yang wudhunya antre dengan ratusan ibu-ibu juga dari daerah lain. Satu hal yang aku garis bawahi, meskipun jadwal padat, ternyata ibu-ibu pengajian di tempatku tak mau menjamak atau menqasar shalat. Terlihat sangat kesungguhannya dalam beribadah. Bahkan sholatnya enggak mau ditunda, seperti ketika sudah terdengar adzan ashar setelah dari Gus Mansur, pemimpin pengajian sudah mengintruksi sang sopir untuk mencari masjid terdekat untuk mampir sholat Ashar. Hmm... malu rasanya, aku sering menunda waktu sholat ketika di rumah padahal sedang santai-santai.
Oh iya, di rumah Gus Masur banyak sekali hikmah yang aku dapatkan. Diantaranya tentang keikhlasan dan kesyukuran. Dari sebutannya Kiai Cebol sudah pasti kalian bayangkan tubuh mungilnya Gus Mansur nggak sampai 1 meter. Ketika kami ke sana bahkan beliau sedang sakit sehingga berbaring diatas tempat tidur dan ruangan yang juga mungil.
Saat memasuki rumah, terlihat sekali kesederhanaan Gus Mansur. Menurut aku kediaman Gus Mansur yang paling sederhana diantara yang lain. Sempat aku meneteskan air mata ketika bertemu dengan Bu Nyai. Beliau tidak hanya cantik rupanya, tapi juga cantik hatinya yang mau menerima Gus Mansur dengan penuh ketaatan. Beliau yang menyambut kami para tamu Gus Mansur. Meski dalam ruangan yang sempit, semuanya teratur dan antri agar dapat ingin bersalaman dengan Gus Mansur serta mendapatkan doa dari beliau. Kehidupan Gus Mansur dan Bu Nyai membuatku terharu. Sempat aku meneteskan air mata, jika mengingat aku kerap membantah bahkan tak bersyukur dengan segala kehidupanku.
Meninggalkan keharuan di kediaman Gus Mansur, dari Mojoagung rombongan melaju ke Surabaya, ke kediaman KH. Maksum, putra dari KH Sholeh Sepanjang. Sayangnya kami tidak berjodoh tidak bertemu beliau karena kediaman sedang kosong. Rombongan langsung melaju ke Margomulyo perbatasan Surabaya dan Gresik, kediaman Bu Nyai Ida Laila.
Memang Bu Nyai Ida Laila masih ada hubungan keluarga dengan salah satu warga di Bringinbendo, sehingga kedatangan rombongan menjadi tamu yang ditunggu. Sempat terjadi insiden sopir ngambek tidak mau mengantar dengan banyak alasan bus tidak masuk. Duh, padahal Bu Nyai sudah mempersiapkan ketupat sayur segala untuk menyambut kami. Enggak tahu bagaimana kecewanya kalau gagal. Beruntung, mepet maghrib sopir terbuka hatinya untuk mencoba masuk jalan yang ternyata cuma sempit bagian di depan.
Rute terakhirpun kebagian rute paling dekat, yaitu Sepanjang Sidoarjo, kediaman Kiai Sholeh. Orangnya sepuh, tetapi (lagi-lagi) istrinya muda, cantik dan menik-menik. Iri banget yak. Iri banget dengan keikhlasan para istri-istri kiai yang menerima suaminya dengan penuh ketaatan dan ketawadhuan tanpa melihat duniawi dan jasmaninya.
Di kediaman Kiai Sholeh, aku tak bisa melihat langsung bagaimana wajah beliau. Karena tertutup tabir pemisah laki-laki dan perempuan, aku hanya bisa dengar dari suaranya yang sudah sepuh, saat memimpin doa dan memberi tausiyah. Tapi beruntung, akupun sempat mendapat kehormatan dikenalkan oleh pemimpin pengajian dengan Bu Nyai yang enggak tahu namanya. Aku dikenalkan karena ibu mertuaku yang enggak bisa ikut. Ternyata ibu mertuaku kenal dekat dengan Bu Nyai. Sempat diberi amalan doa dari beliau yang masih belum kujalankan (reminder nih).
Sudah deh, dari kediaman Kiai Sholeh sudah malam pukul 21.00-an. Perjalanan dimulai dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 21.00 malam, banyak sekali pelajaran yang diambil. Capek dan ngantuknya di perjalanan semoga menjadi berkah kehidupan bagi yang mengharapkannya.
Kabarnya tahun depan Ngalap Berkah akan lebih seru. Bapak-bapak pengajian juga bakalan gabung lho? Hmmm... pasti lebih seru ya. Ngebayangin seperti wisata religi, ziarah ke para alim-ulama layaknya seperti ziarah ke wali songo. Kalau di tempatmu ada tradisi ngalap berkah juga nggak?
Idul Fitri ini cuma ke rumah sodara dan teman2 saja. Kurang lama sih liburnya :D
ReplyDeleteKl di jawa tradisi ngalap masih berjaya ya mbk...yg dtg berbis2 kadang..seru ;)
ReplyDeletegak ada mba..diJakarta palingan silaturahmi ma tetangga dan kerabat saja
ReplyDeleteiya,,di desaku cuma tetangga da para kerabat saja mbak,,
ReplyDeleteFotonya yang tengah itu, lo, narsis banget, he-he.
ReplyDeleteWah menarik juga ya. Sepertinya Ngalap berkah ini seperti sowan atau silaturahmi ke orang tua atau sesepuh atau orang penting ya. Sebaiknya sih begitu ya. Yang muda silaturahmi kepada yang tua atau dituakan. Kalau di Pontianak memang ada nyaris serupa dengan Ngalap Berkah namun dalam kemasan yang berbeda
ReplyDeleteOhh gitu ya Mbak...di sana ada tradisi ngalap yang masih eksis... Kalau di tempat tinggalku yang ngalap malah anak2 yg rame datang...soalnya mereka bawa dompet masing2 mengharap THR dari yang empunya rumah..hehe..
ReplyDeleteIni silaturrahim yang luar biasa. Dulu saya pernah tahu silaturrahim semacam ngalap ini, Mba. Datang ke rumah kyai2. Sama persis seperti yang Mba Nu lakukan. Btw, saya letinggalan banyak post di mari. :D
ReplyDeleteMaaf lahir batin ya, Mba.
Di desaku juga ada mbak tradisi serupa, ada juga tradisi kupatan :D
ReplyDeleteAda Mbak Nunu. Ya begitu, dateng serombongan. Malah bermobil-mobil. Tapi aku nggak pernah ikut. Males berjubel. Hehe!
ReplyDelete