Tak ada yang special dari Ibu, layaknya seperti ibu-ibu lainnya. Ibuku juga wanita biasa yang doyan didapur. Tapi, ibuku bukan sembarang ibu. Ibu adalah manusia yang hatinya diciptakan Allah dari mutiara teridah di dunia ini. Seperti itulah aku menggambarkan bagaimana kebaikan dan kelembutan ibuku, Sutra termahal yang pernah ada yang tidak siapapun mampu membelinya. Dan kesabarannya melebihi luas langit yang tidak pernah terukur. Ah, itupun terlalu biasa untuk menggambarkan Ibuku. Entahah, tapi yang pasti. Ibu selalu membuatku menangis jika aku tidak mendapatkan ibu ketika aku mencarinya. Dan aku hanya bisa diam jika sudah bertemu dengannya meskipun ayah membujukku dengan eskrim atau boneka baru. Hemmm…
Kami, anak-anak ibu dan tentu saja ayah begitu sayang kepadanya, karena ibu juga sayang kepada kami meski ibu tidak pernah bilang begitu. Aku tahu itu, kenapa ibu tidak pernah melewatkan puasa senin-kamisnya. Demi siapa kalau tidak demi kami. Setiap pagi ibu tunaikan dhuhanya, untuk siapa kalau juga bukan untuk kami. Dan setiap malam ibu tundukkan wajahnya, kau tau kenapa? Untuk mendoakan kebaikan dunia akhirat kami. Tapi kami tidak akan pernah bisa mengerti tentang semuanya, karena kedalaman hati ibu yang tidak pernah kami bisa mengukurnya.
Menjadi ibu dari empat orang anak bukanlah hal mudah. Apalagi ketika itu aku dan kakakku masih belum dewasa dan suka saling berantem. Sedangkan adikku masih kecil dan sibungsu masih bayi. Ibu merawat kami seorang diri tanpa bantuan siapapun sekalipun baby sitter yang tidak akan mampu ibu membayarnya.
Jangankan membayar baby sitter, Ayah yang hanya seorang buruh pabrik gajinya sudah tidak cukup lagi untuk kebutuhan hidup keluarga yang semakin naik. Dan ibu tidak pernah mengeluh tentang itu kepada ayah. Ibu menerimanya dengan tulus dan Ikhlas. Ibuku hebat karena Ibu selalu memiliki inisiatif sendiri bagaimana mensiasati kebutuhan. Kalau ibu mampu membeli daging maka hari itu ibu akan memasak ayam. Kalau ibu mampu membeli ayam maka hari itu ibu akan memasak telur. Kalau ibu mampu membeli telur maka hari itu ibu akan memasak tahu tempe. Dan kalaupun ibu tidak mampu membeli apa-apa, ibu akan memasak dadar tepung yang diberi bawang plus garam yang biasa kami sebut “empleng”. Yang sekarang merupakan makanan favorit saat ini untuk mengenang masa itu. Sehingga bisa dihitung dalam sebulan berapa kali kami bisa makan daging ataupun ayam.
Meski begitu, ibu tidak akan membiarkan kami kelaparan. Ibu Selalu mendahulukan ayah kemudian kami anak-anaknya baru kemudian ibu makan. Ibu tidak pernah makan mendahului ayah, atau mendahului kami. Ibu rela makan sisa-sisa makanan terakhir yang kadang sudah tidak ada lauknya. Bahkan, sekalipun ayah tidak sarapan, ibu juga tidak akan mau makan sebelum menunggu ayah pulang. Dan ketika ayah pulang, barulah ibu bisa makan setelah ayah makan.
Ayah pernah lupa menghabiskan semua makanannya. Padahal ibu sedang menunggu sisa makanan dari piring ayah, kalaupun habis ibu akan mengambil nasi hanya dari piring bekas ayah makan. Namun Ibu diam saja, ibu terlalu bahagia melihat ayah yang makan dengan lahapnya karena sewaktu berangkat kerja ayah belum sarapan. Ibu tidak tega untuk mengatakan tidak ada lagi makanan selain makanan yang dimakan ayah. Sekalipun, siangnya ibu sedang puasa kamis dan belum berbuka dengan makanan sedikitpun, ibu hanya menenggak segelas air untuk membatalkan puasanya. Sehingga hari itu ibu tidak makan sampai paginya menunggu ayah kembali sarapan. Namun ayah tidak menyadari kesalahannya, dan baru menyadari ketika ibu jatuh sakit pada malamnya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi ibu kalau ayah tidak sarapan lagi paginya. Ah, ibu tidak bisakah kau egois sedikit untuk memikirkan dirimu. Aku tidak tega membiarkannya tersiksa kelaparan seperti malam itu
Namun, Ibu tidak juga kapok, malah kebiasaan itu dilakukan hingga sekarang. Entahlah kenapa ibu begitu? Ibu hanya beralasan menjalankan kewajiban untuk patuh kepada ayah. Ibu memiliki kewajiban untuk taat terhadap ayah. Menghormati dan menghargai ayah dengan caranya ibu sendiri.
Seringkali ibu juga bercerita ketika dulu ibu menikah dengan ayah, ibu tidak pernah suka dengan ayah. Gadis piatu kecil yang hanya bisa patuh kepada satu-satunya orang tua dan satu-satunya tempat kasih sayangnya yang telah terenggut oleh ibu tirinya. Sehingga ibu hanya mampu menuruti kakek dan menikah dengan ayah.
Maka sejak ibu resmi menjadi pendamping ayah, ibu selalu bertekad menjadi seorang istri yang benar-benar istri. Kalo kata orang jawa, istri harus bisa menjadi sandangan*(1); istri yang mampu menjaga kehormatannya, kehormatan suami dan keluarga, istri harus bisa menjadi daringan*(2) keluarga; istri yang mampu menjaga harta suami, dan Istri harus bisa menjadi tempat pulang suami. Sehingga ibupun siap tunduk, patuh, dan taat kepada ayah.
Kedalaman spiritual dan keteguhan hati ibu dalam berumah tangga itulah yang membuat ayah tidak malu untuk belajar tentang agama dan mengaji kepada ibu. Hingga bukan ayah saja, ibu memiliki hingga lebih dari seratus murid yang belajar ngaji setiap harinya.
Dan kini, Berkat didikan ibu, ayah dipercaya menjadi seorang “Modin” atau pencatat akta nikah di daerahku. Ayah tidak perlu lagi berangkat pagi-pagi ke Pabrik. Ayah tidak lagi terburu-buru dan lupa sarapan. Yang lebih hebat kini ayah sering tampil ceramah meskipun mengisi pidato walimah atau sekedar mengisi acara di masjid. Dan Alhamduillah, pelan-pelan bisa memulihkan kondisi financial keluarga.
Kini aku baru menyadari kenapa ibu melakukan itu. Ibu adalah orang yang wajib dihormati tiga kali sebelum ayah. Yang derajatnya lebih tinggi tiga kali daripada ayah. Namun, ibu tetaplah seorang istri yang mempunyai kewajiban patuh, taat, hormat dan menjunjung tinggi derajat suami. Dan begitulah cara ibu mengajari kami bagaimana menjadi seorang ibu yang bukan sembarang Ibu[.]
keterangan:
*(1) pakaian
*(2) tempat beras dari tanah liat
Kisah diatas diikutkan dalam lomba Kontes Cerita Ibu Tercinta (Please Look After Mom) yang diadakan gramedia