-->
Ilustrasi okezone |
Oleh : Nunu El Fasa
Ibu sakit juga gara-gara aku. Semenjak ayah meninggal, ibu jadi memikirkan semuanya sendiri termasuk memikiran diriku. Bukannya aku membantu malah menyusahkan begini sampai ibu sakit.
Siapa lagi yang disalahkan kalau bukan aku? Kakak sudah menikah dan tinggal bersama istrinya sementara adikku masih kecil. Dan aku yang paling dewasa harusnya bisa ngertiin ibu. Huh aku mengutuk diriku!
Kalau saja aku tidak patah hati, mungkin ibu masih sehat wa’afiat seperti dulu. Setiap hari aku mengurung di kamar, tidak mau keluar. Sekalipun untuk sekedar mencari pekerjaan yang lebih layak daripada sekedar pengajar Ekstrakulikuler Drum Band di sekolah. Tapi, ibu mengira aku ngambek gara-gara menginginkan motor baru. Ibu salah! Ibu sudah terhasut omongan tetangga. Aku masih suka dengan motor peninggalan ayah meski butut begitu. Aku bukan ngambek ibu tapi aku patah hati. Dan aku nggak berani bilang seperti itu kepada ibu. Aku cuek tidak perduli dengan yang orang lain pikirkan termasuk ibu. Ah Ibu, aku begitu menyesal. Sungguh!
Saat itu aku sedang bingung berkali-kali putri membujukku untuk melamarnya, tapi aku tak bisa berkata.
“Aku belum siap menikah, put”, jawabku mengharap pengertiannya.
Baru saja ibu menikahkan putra sulungnya. Bukan beban yang ringan bagi seorang janda tiga anak meski pesta perkawinan kakakpun sederhana. Ditambah lagi dengan permintaan putri agar aku melamarnya. Rasanya aku tidak sanggup mengatakannya kepada ibu. Mengenalkan putri kepada ibu saja, aku masih menunggu waktu yang tepat. Apaagi melamarnya?
“Aku tidak mau menikah dengan mas Rangga, dia sudah izin kepada orang tua untuk melamarku mas. Tapi ibu tak berani menjawab menunggu jawaban dariku. Dan aku menunggu jawaban darimu mas", penjelasan putri malam itu.
Aku hanya menunduk semakin bingung,
“orang tua tidak berani menolak mas Rangga, pun tidak berani mengiyakan. Setidaknya kalau mas sudah melamarku, ada alasan kuat untuk menolaknya.”
“Tapi put,,,,”
“Hanya lamaran, kita tidak buru-buru menikah”, potong putri sebelum kulanjutkan perkataanku.
Huuuuuffffffttttt…..
Aku menghela nafas panjang mengingat kejadian itu yang hanya bisa ku pendam sendiri tanpa pernah kubicarakan kepada kakak ataupun ibu. Dan kini ibu terkapar dirumah sakit karena kesalahpahaman itu.
Namun, sudah terlanjur. Akupun tidak bisa mengatakannya sekarang, itu hanya akan memperparah kondisi ibu. Sudah dua kali ibu keluar masuk rumah sakit demi kesembuhan ibu. Setelah seminggu opname di tumah sakit Karangmenjangan Surabaya. Kondisi ibu semakin membaik. Ibu sudah bisa menggerakkan tangan kirinya setelah sebelumnya tak dapat digerakkan sama sekali akibat struk yang dideritanya.
Kini ibu kembali harus masuk rumah sakit lagi. Kali ini aku tidak membawanya ke rumah sakit terbesar di Asia itu. Aku tidak kuat membayar biayanya. Disana, peralatannya lengkap dan canggih namun biaya berobat masih mahal bagi kami orang desa. Juga biaya hidup di Surabaya yang tidak sedikit bagi yang menjaga ibu disana. Apalagi kakak ipar dan kedua mertua kakak ikut menjaga bergantian. Aku harus menjaga harga diri ibu dan kakakku untuk tidak merepotkan mereka lagi.
Sehingga ibu hanya kubawa ke rumah sakit Umum di tempatku. Toh mungkin ini hanya kambuhan penyakit ibu saja dan butuh pemulihan pasca dari karangmenjangan. Tempatnyapun tak jauh dari kontrakanku, dan aku juga bisa merawatnya, hanya butuh satu asisten untuk menggantikanku. Tapi siapa?
Tidak mungkin putri, pasca kejadian itu aku tidak pernah mengabarinya kalau ibu sakit. Adikku apalagi, dia tidak dapat diandalkan.
Akhirnya aku mencomot salah satu mantan muridku yang kini mau masuk kuliah. Dia sedang libur satu minggu setelah ospek. Dan aku memintanya membantunya menjaga ibuku bergantian dengan aku. Itung-itung aku memperpanjang masa ospeknya. Hehehe
Mila namanya, bukan seorang pendiam seperti putri, namun berjilbab. Aku suka dengan keteguhan prinsipnya dalam menjaga aurat. Diam-diam aku memimpikan putri bisa seperti dia nantinya.
Setiap hari mila menjaga ibu, menyuapi ibu, memberi obat, memcuci bajunya termasuk pakaian dalam ibu. Mila juga yang memandikan ibu dan mencebokinya. Aku tidak pernah mengira mila melakukan ini. Bahkan dia rela dikerubung nyamuk ketika tidur di kolong tempat tidur rumah sakit.
Hingga ibu mengatakan sesuatu kepadaku, “Ibu tidak bisa membalas kebaikan Mila. Hanya kamu yang bisa membalaskan untuk ibu. Segera Nikahi Mila, Nak?” Pinta ibu kala itu yang menjadi wasiat satu-satunya yang ditinggalkan untukku.
Aku tidak bisa memilih lagi. Putri atau Mila. Tentu aku memilih Mila, bukan maksud aku menyakiti hati Putri. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk ibu, Cinta bisa mendurhakakann orang tua, namun restu orang tua tentu bisa menghadirkan cinta dan kebahagiaan ibuku.
40 hari setelah wafatnya ibu, aku menerima undangan pernikahan Putri dan Rangga yang malamnya itupun aku mempersunting Mila.
Subhanalloh, aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Selain bisa membuat ibu tersenyum di alam kubur, aku bisa membalas budi untuk Ibu yang tidak pernah aku merasa lunas untuk menebus kebaikannya meski aku menikahinya[.]
Happy ending ceritanya sob. Patah hati dulu, tapi akhirnya bahagia juga. Cinta tanpa restu orang tua dapat mendatangkan durhaka, tapi karena restu orang tua, dapat mendatangkan cinta.
ReplyDeleteCerita sobat sama seperti kisahku sendiri, aku diminta melamar pacarku kala itu, tapi aku tidak siap. Bimbang dan bingung. Sekarang dia sudah menjadi milik orang lain. Dan sekarang aku menunggu sesosok mila dalam kehidupanku.
Wah jadi curhat ane sob :)
yup betul banget,,, restu orang tua paling penting...
Deletebtw kebetulan sekali kisahnya hehehe,, aku berdoa semoga milanya segera hadir ya sob.. :D