Tuesday, July 16, 2013

Renungan Ramadhan: Ngelmu Kepada Pak Imam, Guru Ngaji

Seiring waktu berjalan suami kerap kali menguji saya, yang paling sering adalah masalah agama. Seperti kemarin, ketika dalam sholat suami menambahnya dengan sujud Syahwi. Usai sholat rupanya suami menunggu saya bertanya tentang hal tersebut, karena bagi saya sujud syahwi itu hal biasa, lantas suami menanyakan doa yang saya baca, ya saya jawab, suami tersenyum tipis mengira saya tidak bisa.

Memang sujud Syahwi akan sangat jarang dilakukan orang, bahkan mungkin ada yang tidak pernah, oleh karena doanya kerap kali disepelekan, mungkin itu dalam pikiran suamiku.

Tapi bagi saya, sujud Syahwi adalah bagian kecil dari ilmu yang diberikan oleh guru ngaji saya, pak Imam Samuji. Guru ngaji yang luar biasa. Padahal dulu SPP ngaji hanya "750" Perak tapi kami mendapatkan banyak hal. Bukan ngaji formal seperti sekarang, sehabis sholat ashar-ngaji-pulang dan libur pada sabtu minggu. Sudah mirip kayak sekolah.

Kami ngaji tak terbatas kemampuan pak Imam dan muridnya, bahkan mungkin hanya libur ketika Pak Imam sakit atau ada kepentingan dan santri tidak masuk karena sakit. Itupun jika lebih dari tiga hari pak Imam beserta semua santri akan menjenguk ke rumah.

Waktu ngaji kami estafet mulai dari sholat ashar, waktu ngajinya anak jilid (dulu masih memakai jilid), kalau sudah Al-qur'an waktu ngajinya bisa bertingkat habis sholat maghrib lanjut habis isya' dengan beragam metode, sema'an satu ayat satu orang secara bergiliran memutar, atau mungkin setoran ke pak Imam dan senior yang sudah dipercaya bacaannya.

Jangan tanya bagaimana kami mengajinya, satu orang bisa lamaaaaaaa..... karena bukan hanya bacaannya yang harus lancar, makhrojul huruf dan tajwidnya harus tepat juga Gharib tidak pernah ketinggalan juga ditanyakan. Bisa jadi kami ngaji hanya satu ayat saja suatu waktu. Kalau salah dan itu dilakukan berulang-ulang kami bisa mendapat hadiah cetot (cubit) di paha.

Ah cubitan, itu yang membuat kami belajar dan bisa menjadi seperti sekarang. Orang tua kami tak pernah risau dengan hal tersebut juga tak pernah ada yang menuntut kenapa kami dicubit. Karena memang semua orang tua telah memasrahkan kami dididik kebenaran oleh guru ngaji kami. Bukan hanya karena ngaji, paling banyak yang mendapatkan cubitan karena sholat yang bolong. Setiap kali usai mengaji dilanjut sholat Isya, adalah saatnya kami dihisab, selalu ditanyakan sholatnya, juga tentang hafalan, doa-doa dan surat pendek juz 30. Saya masih ingat paling tidak bisa menghafal surat Al-Falaq sering kebolak-balik soalnya, hingga mengulang berkali-kali. Awalnya di maafkan sama pak Imam karena lebih dari tiga kali tidak hafal juga akhirnya kena cetot juga. Hehehe.

Kadang hukuman itu bukan hanya cetot, jika santri yang dihukum banyak daripada yang tidak, kami diminta membersihkan masjid sampai gleaming. Bisa dipastikan masjid waktu itu selalu terjaga, baik kebersihan maupun kemakmurannya.

Tidak berhenti setelah habis Maghrib dan Isya', usai subuh juga masih ada ngaji. Ngajinya lebih santai untuk anak-anak tertentu yang dipilih pak Imam. Biasanya cuma ngaji bersama surat Ar-Rahman atau Al-Waqiah untuk hari biasa, sampai kami terbiasa dan hafal dua surat itu. Kalau sekarang bagaimana yaa? *Maluu

Ketika hari tertentu, kalau nggak salah Selasa dan Kamis, habis subuh waktunya ngaji kitab. Sudah mirip kayak pondoklah, bedanya kami tinggal di rumah masing-masing. Karena Pak Imamlah saya bisa mengenal dan membaca kitab yang hurufnya miring-miring. Waktu itu sampai habis 5-an kitab. Yang masih saya ingat, kitab sulam safinah, sulam safinatunnajah, dan sulam taufiq. Sementara khusus hari Jum'at adalah waktunya bersih-bersih masjid, dan membakar tumpukan sampah daun di samping dan belakang masjid.

Kalau sabtu minggu? Sabtu Minggu memang libur ngajinya, kegiatannya cuma diganti dengan yang lain. Sabtu, setelah maghrib saja kami membaca sholawat, kami menyebutnya diba'an. Anak-anak sangat kreatif membuat lagu-lagu bahkan lagu dangdutpun syairnya diganti dengan sholawat, hehehehe. Dan Minggunya khataman atau tadarus bergilir dari rumah ke rumah santri yang ketiban giliran. Mulai dari pagi jam 7 sampai pukul 5 sore. Tapi tidak full all day long, setiap santri Al-quran mendapat jatah ngaji 20-30 menit dengan speker yang terdengar seantero kampung Madureso. Sampai orang hafal masing-masing suara kami. Setelah waktunya habis, kami harus melanjutkan sendiri tanpa speaker sampai satu juz yang dibaca habis. Ya, kami datang hanya pada jam giliran yang telah ditentukan saja. Tapi ketika sorenya, semua santri berkumpul untuk membaca bersama surat-surat akhir juz 30.

Hmmm..... kayak maraton ya ngjinya, dari maghrib sampai subuh, dari senin hingga senin lagi. Apakah capek? Kadang capek juga sih, tapi seneng banyak temannya. Yang paling sebel bagi saya pas ngaji habis subuh saja, soalnya ketika tiba di sebuah persimpangan hawanya serem dan paling ditakuti sama anak-anak. Waktu itu saya masih SD kelas 2, teman-teman selalu lari pas sampai tempat tersebut membuat saya selalu tertinggal di belakang kalau lari. Dan suamiku tidak pernah percaya kalau kelas 2 SD saya sudah bisa membaca Al-qur'an. Secara suami baru mau ngaji ketika sudah SMP, hehehe. Tapi saya malu juga, masa kecilku begitu semangat meraih ilmu, tapi dengan tanggapan suamiku seperti diatas membuatku menyadari ternyata aku mengalami kemunduran :(

Padahal menurut Rasulullah, orang yang paling merugi adalah yang tidak lebih baik dari hari kemarin. Naudzubillah mindzalik, mungkin ini karena kesibukan duniawi saya yang lebih daripada ukhrawi saya. Ya Allah jagalah hati dan iman saya agar tetap menjadi lebih baik untuk esok dan selamanya. Amin.

Itu terjadi ketika santri TPQ Sunan Giri, nama tempat ngaji saya, dipindahkan dari masjid ke sebuah gudang milik orang. Bahkan kami sampai berpindah-pindah tempat, kadang dirumah pak Imam juga, dan pernah juga di gudang tempat menimbun lombok/cabe punyanya tengkulak setempat yang masih saudara dengan pak Imam. Jadwal ngaji menjadi kacau. Apalagi setelah pak Imam mendapat tugas dinas ke Madura, kami menjadi seperti kehilangan. Setiap santri menangis kala perpisahan dengan pak Imam. Saya memberikan sebuah kenang-kenangan kepada pak Imam yang entah saya lupa apa, tapi pak Imam memberikan kenangan yang begitu berharga kepada kami terutama saya, yaitu ilmu dan amalannya yang begitu membekas sampai sekarang.

Entah bagaimana kabarnya pak Imam Samuji, walaupun kami satu kampung, pak Imam seperti jarang pulang dan kabar juga dipindahkan ke Kalimantan. Ya Allah, berikan selalu kesehatan dan keberkahan hidup pak Imam dunia dan akhirat dimanapun beliau berada. Amin.

Ilustrasi : Koleksi foto suami 

3 comments:

  1. haiii, mba Nunu yang gape mat n bikin buku...plz ajarin dung :) slm sukses slalu ^_^

    ReplyDelete

Thanks for comming and no spam please

Follow
My twitter @ununtriwidana
My Instagram @nunuelfasa

Feel Free To Follow My Blog