Dimuat di koran Jawa Pos, Kamis 2 Agustus 2012 rubrik For Her Jawa Pos
Link versi digital http://digital.jawapos.com/shared.php?type=imap&date=20120802&name=H8-A224100
dan dibawah ini versi asli sebelum terjamah proses editing
Aku ingin Menyelamatkan Buku
Unun Triwidana, IIDN Korwil Jatim dan FLP Sidoarjo
Jujur, aku mengenal buku baru lima tahun terakhir ketika pertama kalinya aku hijrah ke Surabaya. Dulu, aku hanya berminat dengan buku pelajaran, selain itu no way. Jangankan membaca buku, pinjam majalah teman saja aku tidak pernah ingin tahu isinya, entah itu cerpen, cerbung, liputan atau apalah. Barisan huruf-huruf itu tidak pernah menarik di mataku, aku hanya membolak-balik melihat warna-warni gambarnya yang selalu nampak eye catching.
Apalagi ke perpustakaan sekolah. Sama sekali bisa dihitung jari, aku terpaksa ke sana hanya ketika ada tugas saja. Bagiku di perpustakaan itu membosankan. Selain suasananya yang bertolak belakang dengan diriku. Aku tidak begitu tertarik dengan koleksi buku-bukunya yang tidak up to date. Kebanyakan lusuh, berdebu, warnanya pudar dan tidak terawat.
Tapi sejak aku terjebak di salah satu mall Surabaya, entah kenapa serasa ada yang menuntunku ke toko buku. Buku-bukunya baru, cantik, tertata rapi, dan tidak berdebu. Aku seperti berada di dalam surganya buku. Apalagi aku diperbolehkan membaca sebelum membelinya. Kalaupun tidak dibeli aku juga tidak dimarahi, sehingga aku bebas memilih buku-buku yang kusuka.
Aku tidak pernah menemui yang seperti ini sebelumnya. Tidak terbayang bagaimana toko buku itu ketika aku masih hidup dan bersekolah di desa. Kalaupun ada, jangan harap aku akan mampu membelinya. Uang sakuku tidak pernah cukup. Aku hanya mampu membeli buku-buku pelajaran saja. Itupun hanya sebagian, tidak semua. Kali ini lain, aku tidak ingin hanya membaca-baca buku yang terpajang rapi di rak buku itu. Suatu saat aku ingin datang lagi dan memilikinya. Begitu azamku dalam hati, kala itu.
Hingga sekarang, aku tidak pernah melewatkan setiap bulannya untuk membeli buku-buku baru. Bukan perkara sekarang lebih mudah untuk membeli buku karena aku sudah bersuami yang menyokong perekonomianku. Justru sekarang aku harus lebih berhati-hati dalam mengatur uang belanja. Bagaimanapun ibu rumah tangga harus cerdas untuk memilih dan memilah mendahulukan kebutuhan rumah tangganya, setidaknya satu buku satu bulan itu yang aku tetapkan juga masuk dalam daftar anggaran kebutuhan utama yang harus aku beli. Dan jika akhir bulan ada sisa uang belanja lebih, barulah mampu membeli buku lebih dari itu.
Buku adalah sahabat paling setia rela mendampingi sepanjang waktu di mana pun aku berada tanpa pernah memikirkan dirinya*. Dia menemaniku 24 jam. Ketika sendirian dirumah, menunggu suami pulang kerja, menunggu nasi masak, saat antri di salon, menemani menanti atau ketika di dalam angkot, dialah pedang yang sangat tajam untuk membunuh waktuku.
Bagiku buku juga bukan sekedar bahan bacaan yang setelah selesai membaca, buku kembali ke tempat peraduannya, rak buku. Itulah yang menjadi alasan sebagian banyak orang kenapa mereka lebih senang meminjam daripada membeli buku untuk dimiliki atau di koleksi.
Tidak. Buku tidak pernah ada tanggal kadaluwarsanya, kecuali memang sengaja dibakar. Bagiku, memiliki buku itu asset. Selain memberiku banyak informasi dan pengetahuan. Dia membawaku berkelana jauh, lebih jauh dari kakiku yang hanya terdiam ketika membacanya. Dan dalam setiap lembaran kalimat yang kubaca, dia mengajariku bagaimana aku harus bertutur lewat tulisan.
Aku tidak akan pernah mampu menulis jika aku tidak membaca buku. Lima buku antologi lahir, itu juga sejak aku mencintai buku. Dari sana tersimpan motivasi luar biasa yang membangunkan semangat menulisku. Saat semua ide tersumbat dan tak mau mengalir. Aku mengambilnya satu dari tumpukan di rak buku. Aku memilih bacaan yang sesuai dengan apa yang ingin aku tulis dan membacanya penuh hati. Aku tidak bosan meski aku harus membacanya lagi dan lagi. Sehingga tak jarang aku membeli buku yang bahkan aku sudah khatam membacanya dari buku pinjaman seorang teman agar aku bisa memilikinya secara utuh, yang bebas aku baca sesukaku kapan saja ketika aku membutuhkannya.
Apalagi keberadaannya di era modern ini, sudah tergeser oleh kemajuan digital. Banyak penerbitan yang menawarkan e-book yang notabene harganya jauh lebih murah daripada buku. Penerbit bisa menekan biaya percetakan, dan tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Cukup tenaga ahli. Sedangkan di pihak pembaca, harganya terjangkau menjadi pilihan juga lebih memudahkan untuk menggantikan bertumpuk-tumpuk buku hanya dengan segenggam HP atau computer tablet yang bisa dibawa kemana-mana.
Disisi lain karena factor lingkungan, buku sering menjadi kambing hitam karena banyaknya pohon yang ditebang sebagai bahan baku utama kertas. Sehingga era digital sedikit menjadi alasan untuk menggantikan keberadaan buku. Lantas bagaimana nasib buku nantinya? Bisa jadi suatu saat buku akan menjadi barang langka yang susah dijumpai. Dan sebelum itu terjadi aku ingin menyelamatkan buku dan memilikinya untuk asset kehidupan yang akan kuwarisankan untuk anak cucuku.
Bagaimapun juga aku lebih mencintai buku, masalah effect global akibat bahan baku utama kertas, pasti ada cara lain untuk mengatasinya. Ah, aku jadi menyesal kenapa aku terlambat mencintai buku.
Foot note: *Abdurahman Faiz, Aku Ini Puisi Cinta
Link versi digital http://digital.jawapos.com/shared.php?type=imap&date=20120802&name=H8-A224100
dan dibawah ini versi asli sebelum terjamah proses editing
Aku ingin Menyelamatkan Buku
Unun Triwidana, IIDN Korwil Jatim dan FLP Sidoarjo
Jujur, aku mengenal buku baru lima tahun terakhir ketika pertama kalinya aku hijrah ke Surabaya. Dulu, aku hanya berminat dengan buku pelajaran, selain itu no way. Jangankan membaca buku, pinjam majalah teman saja aku tidak pernah ingin tahu isinya, entah itu cerpen, cerbung, liputan atau apalah. Barisan huruf-huruf itu tidak pernah menarik di mataku, aku hanya membolak-balik melihat warna-warni gambarnya yang selalu nampak eye catching.
Apalagi ke perpustakaan sekolah. Sama sekali bisa dihitung jari, aku terpaksa ke sana hanya ketika ada tugas saja. Bagiku di perpustakaan itu membosankan. Selain suasananya yang bertolak belakang dengan diriku. Aku tidak begitu tertarik dengan koleksi buku-bukunya yang tidak up to date. Kebanyakan lusuh, berdebu, warnanya pudar dan tidak terawat.
Tapi sejak aku terjebak di salah satu mall Surabaya, entah kenapa serasa ada yang menuntunku ke toko buku. Buku-bukunya baru, cantik, tertata rapi, dan tidak berdebu. Aku seperti berada di dalam surganya buku. Apalagi aku diperbolehkan membaca sebelum membelinya. Kalaupun tidak dibeli aku juga tidak dimarahi, sehingga aku bebas memilih buku-buku yang kusuka.
Aku tidak pernah menemui yang seperti ini sebelumnya. Tidak terbayang bagaimana toko buku itu ketika aku masih hidup dan bersekolah di desa. Kalaupun ada, jangan harap aku akan mampu membelinya. Uang sakuku tidak pernah cukup. Aku hanya mampu membeli buku-buku pelajaran saja. Itupun hanya sebagian, tidak semua. Kali ini lain, aku tidak ingin hanya membaca-baca buku yang terpajang rapi di rak buku itu. Suatu saat aku ingin datang lagi dan memilikinya. Begitu azamku dalam hati, kala itu.
Hingga sekarang, aku tidak pernah melewatkan setiap bulannya untuk membeli buku-buku baru. Bukan perkara sekarang lebih mudah untuk membeli buku karena aku sudah bersuami yang menyokong perekonomianku. Justru sekarang aku harus lebih berhati-hati dalam mengatur uang belanja. Bagaimanapun ibu rumah tangga harus cerdas untuk memilih dan memilah mendahulukan kebutuhan rumah tangganya, setidaknya satu buku satu bulan itu yang aku tetapkan juga masuk dalam daftar anggaran kebutuhan utama yang harus aku beli. Dan jika akhir bulan ada sisa uang belanja lebih, barulah mampu membeli buku lebih dari itu.
Buku adalah sahabat paling setia rela mendampingi sepanjang waktu di mana pun aku berada tanpa pernah memikirkan dirinya*. Dia menemaniku 24 jam. Ketika sendirian dirumah, menunggu suami pulang kerja, menunggu nasi masak, saat antri di salon, menemani menanti atau ketika di dalam angkot, dialah pedang yang sangat tajam untuk membunuh waktuku.
Bagiku buku juga bukan sekedar bahan bacaan yang setelah selesai membaca, buku kembali ke tempat peraduannya, rak buku. Itulah yang menjadi alasan sebagian banyak orang kenapa mereka lebih senang meminjam daripada membeli buku untuk dimiliki atau di koleksi.
Tidak. Buku tidak pernah ada tanggal kadaluwarsanya, kecuali memang sengaja dibakar. Bagiku, memiliki buku itu asset. Selain memberiku banyak informasi dan pengetahuan. Dia membawaku berkelana jauh, lebih jauh dari kakiku yang hanya terdiam ketika membacanya. Dan dalam setiap lembaran kalimat yang kubaca, dia mengajariku bagaimana aku harus bertutur lewat tulisan.
Aku tidak akan pernah mampu menulis jika aku tidak membaca buku. Lima buku antologi lahir, itu juga sejak aku mencintai buku. Dari sana tersimpan motivasi luar biasa yang membangunkan semangat menulisku. Saat semua ide tersumbat dan tak mau mengalir. Aku mengambilnya satu dari tumpukan di rak buku. Aku memilih bacaan yang sesuai dengan apa yang ingin aku tulis dan membacanya penuh hati. Aku tidak bosan meski aku harus membacanya lagi dan lagi. Sehingga tak jarang aku membeli buku yang bahkan aku sudah khatam membacanya dari buku pinjaman seorang teman agar aku bisa memilikinya secara utuh, yang bebas aku baca sesukaku kapan saja ketika aku membutuhkannya.
Apalagi keberadaannya di era modern ini, sudah tergeser oleh kemajuan digital. Banyak penerbitan yang menawarkan e-book yang notabene harganya jauh lebih murah daripada buku. Penerbit bisa menekan biaya percetakan, dan tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Cukup tenaga ahli. Sedangkan di pihak pembaca, harganya terjangkau menjadi pilihan juga lebih memudahkan untuk menggantikan bertumpuk-tumpuk buku hanya dengan segenggam HP atau computer tablet yang bisa dibawa kemana-mana.
Disisi lain karena factor lingkungan, buku sering menjadi kambing hitam karena banyaknya pohon yang ditebang sebagai bahan baku utama kertas. Sehingga era digital sedikit menjadi alasan untuk menggantikan keberadaan buku. Lantas bagaimana nasib buku nantinya? Bisa jadi suatu saat buku akan menjadi barang langka yang susah dijumpai. Dan sebelum itu terjadi aku ingin menyelamatkan buku dan memilikinya untuk asset kehidupan yang akan kuwarisankan untuk anak cucuku.
Bagaimapun juga aku lebih mencintai buku, masalah effect global akibat bahan baku utama kertas, pasti ada cara lain untuk mengatasinya. Ah, aku jadi menyesal kenapa aku terlambat mencintai buku.
Foot note: *Abdurahman Faiz, Aku Ini Puisi Cinta
Lahhhh, Mbak Nunu kie wis nikah, to?
ReplyDeleteHehe, baru tahu saya. Mari kita cintai bukuuu :)
keren.. i love book ^^
ReplyDeletesiap mbak, ini artikel yang masuk koran kah mbak?? ^^
ReplyDelete@mbak anaz... lha baru tahu yaa... :D
ReplyDelete@nunu, same with my nick yaa.... I Love book too :D
@naina,, iyah nai ini artikelnya :D