Telah sepakati menu takjilnya es timun,
kurma dari LMI dan tambahan roti dari IIDN Jatim yang akan dibagikan di
sekitaran Alun-alun Sidoarjo. Semua persiapan sudah beres, aslinya terima jadi
sih dari bu Tatit si pemilik resep es timunnya. Sepertinya saya melupakan
sesuatu, baru teringat kalau hari ini saya sudah di booking mamas *pinjem
panggilannya manda* untuk bukber anak yatim dengan sebuah perusahaan di daerah
Legok-Sidoarjo jauh sebelum rencana bagi takjil ini saya buat.
Bingung. Antara menepati janji kepada
mamas atau ke alun-alun. Sementara kehadiran saya di alun-alun sebagai anggota
FLP yang dihitung sebagai absensi KM (Kelas Menulis) masih bisa saja saya ijin
kepada pak Rafif. Tapi terlibatnya IIDN dalam acara tersebut menuntut kehadiran
saya. Tidak fair kalau saya lepas tangan begitu saja. Harus ada ikon IIDN yang
mewakili, dan itu tidak mungkin dari teman-teman FLP yang juga anggota IIDN. Jika
saja teman-teman IIDN dari luar FLP bisa dipastikan kehadirannya, tentu saya
tidak segalau ini.
Sementara mamas masih kekeuh saya harus
ikut ke Legok. Kemana-kemana kalau diluar urusan pekerjaan dan muktamarnya
dengan para kopi-ers, saya selalu ada dibalik punggung boncengan motornya.
Beginilah memang cara mamas memperlakukan keberadaan saya sebagai istrinya,
bagaimana saya bisa menolak? Walau harus putar arah dua kali akhirnya saya
bersedia menemani mamas. Karena saya yang paling jauh, saya yang ngedrop mamas
dan motor saya bawa.
Uh, sudah pukul 16.00 kami baru berangkat.
Padahal kumpul di alun-alun harusnya pukul 16.30, mana cukup waktu hanya 30
menit dengan dua kali perjalanan. Itupun saya harus melewati jalan tikus dari
Legok untuk tembus alun-alun.
Saya tidak yakin hafal jalannya. Sementara
dulu ketika mamas memboceng saya melewati jalan tikus itu. Posisi dibonceng dan
membonceng memang sangat mempengaruhi pengetahuan tentang jalan-jalan yang
pernah kita lewati. Sementara kalau dibonceng biasanya terima pasrah kita
sampai di tujuan.
Disinilah insting saya bekerja ketika
pentunjuk yang diberikan mamas dalam perjalanan ke Legok, tidak sesuai dengan
keadaan laju motor yang saya kendarai sendiri. Saya lebih memilih membuntuti
pengendara lain yang saya yakin dari gaya berkendaranya pasti mengarah kekota.
Trap!.. diujung tikungan jalan yang lebih
mirip pertigaan karena ditengah-tengah terdapat gang bergapura besar.
Haduuhh... pasti nyasar ini. Harus lurus menikung, atau lurus masuk gang?
Sementara pengendara motor dari lurus masuk gang, sedangkan beberapa motor dan mobil
lainnya lurus menikung? Ikut jamaah apa ikut insting pertama? Rasulullah selalu
berpesan untuk meninggalkan keragu-raguan dan keyakinan saya tetap pada insting
pertama. Weeeennnngggg.... legaaa akhirnya saya sampai tepat di sebuah rumah
diujung tikungan dan ada tulisannya “Di jual”, hanya itu yang bisa saya ingat
ketika di bonceng mamas. Pertanda saya akan segera sampai di alun-alun.
Ciiittt... saya memberhentikan motor di
taman sebelah selatan alun-alun dan membuka HP. Ternyata lebih cepat dari perkiraan,
masih pukul setengah lima lebih. Teman-teman yang datangpun masih segelintir
orang, takjil dkk-nya masih dalam perjalanan. Rata-rata merekapun angkatan saya
yang datangpun mungkin juga karena alasan kewajiban KM, hihihihi bahkan ada
yang baru pertama kalinya bertemu.
Waktu merambat semakin jingga tapi
kebutuhan yang ada belum juga sempurna, hanya ada es timun. Tiba-tiba kerumuman
pengemis dan pengguna jalanan berlarian kearah lampu merah, rupanya mereka
memburu takjil juga yang dibagikan oleh beberapa pemuda dari komunitas lain.
Sementara kita belum apa-apa, kita harus mengakui kalah persiapan dengan
mereka. Menjelang maghrib baru kami bergerak ke lampu merah yang lain dengan
pembagi takjil yang sudah mencuri start kami, arah surabaya sebelah selatan, meski
hanya ada es timun yang kami bagikan.
Satu persatu es timunpun ludes, menyusul
kurma dan roti. Mulai dari pengguna motor, pick up, mobil mewah, pejalan kaki,
semua menerima apa yang kami ulurkan kepada mereka. Tak satupun yang menolak,
meski kadang beberapa pengguna mobil mewah itupun hanya membuka sedikit kaca
mobilnya untuk menerima takjil yang kami bagikan. Tak apa. Sebuah kepuasan
tersendiri melihat kesenangan terpancar dari senyum terimakasih mereka yang
berbuka tanpa harus menunggu sampai di rumah untuk mendapatkan kesegaran.
Saking antusiasnya sampai kami lupa menyisakan
untuk buka diri sendiri, sampai-sampai ada yang rela joinan es timun atau malah
tidak kebagian. Huhuhu... kalau saja tidak teringat untuk menjemput mamas saya
masih ingin puas-puasin foto narsis di tengah jalan. Hehhehe kapan lagi bisa
foto di jalan begini[.]
No comments:
Post a Comment
Thanks for comming and no spam please
Follow
My twitter @ununtriwidana
My Instagram @nunuelfasa