Referendum 30 Agustus 1999 yang terjadi di Timor-Timur (Timor Leste dulunya) menyisakan sedikit luka. Rakyat Indonesia juga menyesalkan ada bagian darinya yang hilang, setidaknya itu darah dan rasa! Terjadi bentrokan dimana-mana. Suara mesiu, dentuman bom, api dan kepulan asap yang sebenarnya tak kami (rakyat Indonesia) dan mereka (sebagian dari masayarakat Timor-Timur) harapkan saat itu.
Tapi apa boleh buat, referendum telah diputuskan. Rakyat berbondong-bondong menuju bilik suara, mengajukan aspirasi tertingginya untuk masa depan Timor-Timur. Memilih antara tetap menjadi bagian bumi pertiwi Indonesia atau berdikari menjadi republik sendiri.
Marsela dan Juanito menjadi bagian sejarah dalam novel ini. Sejak kecil mereka hidup betetangga di tengah kebun kopi khas Ermera. Juanito laki-laki kecil yang selalu ingin membela Marsela, siapapun tahu dimana ada Marsela pasti ada Juanito. Bahkan ketika mereka bersekolah Juanito selalu memperkenalkan Marsela sebagai adiknya.
Kedekatan mereka membuat Mario was-was, dan menasehati Marsela yang telah gadis tidak boleh disentuh oleh laki-laki manapun termasuk Juanito. Meski alasan klasik yang biasa diutarakan seorang bapak kepada anaknya, namun pada setting ini sulit ditebak bahwa permasalahan sebenarnya adalah perbedaan pilihan kebangsaan masing-masing keluarga kalau tidak dibaca secara keseluruhan.
Hal inilah yang membuat Juanito menganggap Marsela marah kepadanya, lantas ditepis oleh ibunya Juanito, “Oh, ya Tuhan, anakku telah menjadi gadis. Ya Apa’* O’** sangat sayang sama O’. Jadi, dia buat peraturan itu untuk O’. Tapi, O’ dan Juanito tak perlu marah-marah dan saling diam begini.”(hal 40)
Hingga Marsela dan Juanito benar-benar dipisahkan oleh keputusan Mario yang menunda pernikahan mereka karena konflik bumi Lorosa’e yang tidak menentu. Bagi Marsela hal ini tidak mudah meninggalkan tempat kelahirannya bersama kenangan calon suaminya. Sementara Mario orang tua satu-satunya yang amat ia cintai, memilih mengajaknya mengungsi dan mempertahankan darah Indonesia tetap mengalir pada nadinya.
Novel ini mengaduk-ngaduk rasa. Bukan hanya perasaan hati. Tapi juga pada sejarah yang telah mengubah hidup Marsela hingga pada titik teredahnya. Hari-hari Marsela berikutnya hanya berkisar antara rumah dan sungai. Mengangkat batu, menitinya hingga menjadi kecil. Pulang, istirahat, kembali lagi ke Sungai. Selalu begitu. Ada beberapa rencana di otaknya, dan pertama yang harus dia kerjakan saat ini adalah mengumpulkan batu sebanyak-banyaknya agar bisa mendapatkan uang sebanyak-banyaknya pula. (hal. 113)
Secara keseluruhan apresiasi terhadap novel sangat luar biasa karena merupakan pemenang ke-3 lomba novel sebuah penerbitan. Hanya saja, diawal-awal bab, pembaca akan dibuat agak sedikit kebingungan dengan alur campuran yang digunakan Shabrina.
Namun disitulah kepiawaian Shabrina memainkan peran, ia berhasil mengemasnya secara unik dengan karakter sastranya. Ia menciptakan konflik yang tidak biasa dengan mengambil latar belakang sejarah Timor Leste.
Bukan lagi seperti membaca novel roman tapi seperti menikmati novel sejarah dengan bumbu romantisme, tetap dengan khasnya seorang Shabrina dengan memberikan topping fabel pada novel ini hingga nampak berbeda dari novel-novel romance lainnya.
Ditambah dengan embel-embel Romance Qanita, orang akan terjebak menganggap bahwa novel ini adalah novel Cinta Islami. Padahal tidak, meskipun ajaran nilai-nilai Islam juga tergambar dari sosok Mario dan Randu di dalamnya[.]
Ket:
*Bapak, Ayah, Papa
**Kamu, Kau
Tapi apa boleh buat, referendum telah diputuskan. Rakyat berbondong-bondong menuju bilik suara, mengajukan aspirasi tertingginya untuk masa depan Timor-Timur. Memilih antara tetap menjadi bagian bumi pertiwi Indonesia atau berdikari menjadi republik sendiri.
Marsela dan Juanito menjadi bagian sejarah dalam novel ini. Sejak kecil mereka hidup betetangga di tengah kebun kopi khas Ermera. Juanito laki-laki kecil yang selalu ingin membela Marsela, siapapun tahu dimana ada Marsela pasti ada Juanito. Bahkan ketika mereka bersekolah Juanito selalu memperkenalkan Marsela sebagai adiknya.
Kedekatan mereka membuat Mario was-was, dan menasehati Marsela yang telah gadis tidak boleh disentuh oleh laki-laki manapun termasuk Juanito. Meski alasan klasik yang biasa diutarakan seorang bapak kepada anaknya, namun pada setting ini sulit ditebak bahwa permasalahan sebenarnya adalah perbedaan pilihan kebangsaan masing-masing keluarga kalau tidak dibaca secara keseluruhan.
Hal inilah yang membuat Juanito menganggap Marsela marah kepadanya, lantas ditepis oleh ibunya Juanito, “Oh, ya Tuhan, anakku telah menjadi gadis. Ya Apa’* O’** sangat sayang sama O’. Jadi, dia buat peraturan itu untuk O’. Tapi, O’ dan Juanito tak perlu marah-marah dan saling diam begini.”(hal 40)
Hingga Marsela dan Juanito benar-benar dipisahkan oleh keputusan Mario yang menunda pernikahan mereka karena konflik bumi Lorosa’e yang tidak menentu. Bagi Marsela hal ini tidak mudah meninggalkan tempat kelahirannya bersama kenangan calon suaminya. Sementara Mario orang tua satu-satunya yang amat ia cintai, memilih mengajaknya mengungsi dan mempertahankan darah Indonesia tetap mengalir pada nadinya.
“Aku berharap bisa kembali lagi kesini. Tapi jika tidak, Juan, kamu boleh menjemput Marsela kapan saja.. dan.. aku serahkan kebun kopi ini untuk kalian.” (hal. 76) Begitu pesan ayah Marsela kepada Juanito dan keluarganya.Sepuluh tahun berlalu banyak hal terjadi dan membuat keadaan tak lagi sama. Termasuk Ermera bumi Lorosa’e yang kini menjadi Timor Leste, menjadi kota Asing bagi Marsela. Ia tidak ingin menanti Juanito yang sudah berjanji akan menjemputnya, meski dengan keyakinan segalanya bisa berubah dalam sepuluh tahun. Mungkinkah Juanito tetap menunggu Marsela pulang ke hatinya?
Novel ini mengaduk-ngaduk rasa. Bukan hanya perasaan hati. Tapi juga pada sejarah yang telah mengubah hidup Marsela hingga pada titik teredahnya. Hari-hari Marsela berikutnya hanya berkisar antara rumah dan sungai. Mengangkat batu, menitinya hingga menjadi kecil. Pulang, istirahat, kembali lagi ke Sungai. Selalu begitu. Ada beberapa rencana di otaknya, dan pertama yang harus dia kerjakan saat ini adalah mengumpulkan batu sebanyak-banyaknya agar bisa mendapatkan uang sebanyak-banyaknya pula. (hal. 113)
Secara keseluruhan apresiasi terhadap novel sangat luar biasa karena merupakan pemenang ke-3 lomba novel sebuah penerbitan. Hanya saja, diawal-awal bab, pembaca akan dibuat agak sedikit kebingungan dengan alur campuran yang digunakan Shabrina.
Namun disitulah kepiawaian Shabrina memainkan peran, ia berhasil mengemasnya secara unik dengan karakter sastranya. Ia menciptakan konflik yang tidak biasa dengan mengambil latar belakang sejarah Timor Leste.
Bukan lagi seperti membaca novel roman tapi seperti menikmati novel sejarah dengan bumbu romantisme, tetap dengan khasnya seorang Shabrina dengan memberikan topping fabel pada novel ini hingga nampak berbeda dari novel-novel romance lainnya.
Ditambah dengan embel-embel Romance Qanita, orang akan terjebak menganggap bahwa novel ini adalah novel Cinta Islami. Padahal tidak, meskipun ajaran nilai-nilai Islam juga tergambar dari sosok Mario dan Randu di dalamnya[.]
Ket:
*Bapak, Ayah, Papa
**Kamu, Kau
No comments:
Post a Comment
Thanks for comming and no spam please
Follow
My twitter @ununtriwidana
My Instagram @nunuelfasa