mejeng sebelum berlayar |
Kepetingan –Pulau kecil
bagian tenggara dari kabupaten Sidoarjo ini tak banyak orang tahu akan
keberadaannya sekalipun penduduk Sidoarjo sendiri. Ketika suami berkesempatan
pergi kesana untuk sebuah urusan kerja, saya tertarik dengan hasil liputannya
yang mengabarkan ada sebuah makam Dewi Sekardadu, ibunda dari Raden Paku atau
yang kita kenal dengan Sunan Giri yang berada di Gresik. Dan hari Minggu awal
Februari ini saya berkesempatan pergi kesana lengkap dengan pengalaman baru,
melihat secara langsung ritual Nyadran yang dilakukan oleh penduduk setempat.
suasana di atas perahu |
Seremonial dimulai
dari dermaga Desa Bluru Kidul oleh Bupati Sidoarjo dengan ditandai pelepasan
puluhan balon ke udara. Suasana tampak meriah dengan iringan dangdut dan
tepukan pengiring di pinggiran sungai. Perahu-perahu tradisional nelayan dihias
berdasarkan kreativitas masing-masing, terparkir di pinggir-pinggir sungai
telah siap melaju menunggu aba-aba pemandu acara. Tepat sebelum itu saya
bersama empat orang rombongan pecinta petualang, Wiwik, Happy, Karni, dan
Lukman dititipkan seorang teman setempat kepada pemilik perahu agar dapat
mengikuti prosesi Nyadran sampai ke muara sungai yang diikuti lebih dari dua
puluhan perahu nelayan.
Petualangan di Perjalanan Sungai
menikmati pesona sungai dan hawa sejuknya |
Sebuah perahu
tradisional dengan tenda penahan panas yang dihiasi bendera umbul-umbul dan
beragam makanan dapur, sudah berkumpul ibu-ibu dan anak-anak yang siap
menikmati panorama indah perjalanan sungai yang mungkin bukan pertama kalinya
bagi mereka, tetapi mereka tetap sama antuasiasnya seperti kami yang baru
mengalaminya saat ini.
Mesin diesel dari
perahu-perahu mulai di nyalakan. Beberapa penonton yang tidak saling kenal di
pinggiran suangi tampak melambaikan tangan kepada kami saat perahu mulai
melaju. Meski saya tahu lambaian-lambaian mereka bukan sepenuhnya untuk kami
yang merupakan pendatang, saya tak ragu untuk membalasnya bahwa kami akan
kembali lagi ke dermaga ini. Ah, rasanya benar-benar tak jauh berbeda dengan
naik kapal pesiar yang kami tonton di film Titanic itu. Lambaiannya tetap kami
rasakan sepanjang bantaran sungai yang berpenduduk.
Arus sungai yang
tenang, memberikan rasa nyaman pada perjalanan kali ini meski suara bising
diesel membuat kami tak bisa banyak bercengkrama dan saling mengenal dengan
ibu-ibu peserta Nyadran. Namun keakraban di dalam perahu terasa sangat kental.
Perbekalan yang mereka bawa terhidang disana, mulai dari kerupuk udang dan
petisnya yang terkenal dari Sidoarjo sampai gorengan, kacang rebus, serta tak
ketinggalan air mineral yang memang telah dipersiapkan. Sementara kami sambil
makan, sibuk membidikkan kamera kesegala arah penjuru sisi perahu.
Perjalanan baru
dimulai, tiba-tiba mesin diesel di matikan, beberapa dari kami termasuk saya
yang penasaran semburat berdiri dan ke luar atap melihat keadaan sekitar.
“Awas... Mbaaaaak,
menunduuuuuuk,” teriak sopir perahu yang menjaga mesin diesel di belakang.
salah satu perahu besar |
Saya sontak
menunduk seketika. Rupanya perahu-perahu kami melewati bawah jembatan yang
pembangunannya kurang tinggi. Sehingga ketika air sungai penuh banyak perahu
yang kesusahan melewatinya. Segala pernah-pernik perahu yang tadinya didesain
unik, terpaksa pada bagian yang menjulangnya harus di lepas, bahkan yang
perahunya memang besar juga terpaksa melepas atapnya dan penumpangnya harus
menundukkan kepala sampai dek perahu. Beruntung perahu yang kami tumpangi masih
cukup melewatinya asal tidak ada yang berdiri seperti saya tadi.
Selepas itu tidak
ada kendala berarti yang kami lewati. Setiap sisi perjalanan yang kami lihat
tampak beragam tanaman bakau, juga beberapa burung bangau berleher jenjang
berterbangan saat perahu kami mulai mendekatinya.
Pesona Kepetingan Dengan Dewi
Sekardadu
jalanan setapak menuju makam |
Satu setengah jam
perjalanan mengikuti arus sungai, pukul 9.30 sampailah kami di tujuan wisata
utama kali ini, makam Dewi Sekardadu. Konon, saat Syekh Maulana Ishaq, suaminya
diusir raja Blambangan karena menyebarkan ajaran Islam, Dewi Sekardadu sedang
hamil tua. Sehingga ia tidak ikut serta bersama suaminya.
Setelah anak
laki-lakinya lahir. Bayi tersebut tidak diingikan oleh sebagian orang yang
tahtanya terancam oleh kelahiran anaknya. Bayi mungil itu diculik, dimasukkan
kedalam peti dan dipaku pada setiap tepinya, sehingga inilah yang membuat bayi
mungil ini dikemudian hari dipanggil sebagai Raden Paku. Lantas melarungkan
bayi dalam peti tersebut ke laut.
Dewi Sekardadu
yang tahu hal ini, turut menceburkan dirinya ke laut untuk mengejar peti
tersebut hingga dirinya meninggal di tengah laut karena tak mampu mengejarnya
sementara Raden Paku sudah ditemukan oleh Dewi Pinatih dari Gresik.
Nelayan yang
sedang melaut saat itu, menemukan mayatnya mengapung. Anehnya mayat tersebut mengapung
karena di arak beramai-ramai oleh banyak ikan keting mengarah menuju sungai
dimana disisi tersebut terdapat perkampungan warga. Oleh warga mayat tersebut
dimakamkan dan menamakan daerah tersebut sebagai Kepetingan atau Ketingan,
tempat transit Nyadran kali ini.
depan pintu masuk sebelah timur |
Sayangnya, ketika
saya mencoba menerobos masuk agar lebih dekat dengan nisan. Banyak orang-orang
yang memanfaatkannya untuk hal kesyirikan, menambah kekuatan, atau meminta
pesugihan. Seperti pengakuan seorang ibu-ibu yang sempat saya tanyai ketika
meminta sekar (bunga makam) kepada pak Samadi penjaga makam, hal itu ia lakukan
untuk menambah penglaris dagangannya.
Cara Mereka Mensyukuri Nikmat
Karena tak banyak
yang tahu, wisatawan yang datang ke tempat ini kebanyakan adalah warga lokal
sekitar kecamatan Buduran, dan sebagian orang-orang Madura yang datang untuk
mendoakan.
Kebetulan
bertepatan saat acara Nyadran, tempat ini menjadi ramai. Meski jalanan setapak
menuju makam masih berupa tanah liat, apalagi di musim hujan begini saat
berjalan tanah seringkali menjerembab sepatu, saya tetap tak mau melewatinya.
Bahkan rela melepaskan sepatu agar bisa berjalan lebih cepat.
Diatas balai-balai
orang berkerumun yang terbagi dalam beberapa grup mengitari makanan yang
sengaja turut serta mereka bawa. Nasi ayam panggang dalam tumpung yang amat
sederhana dan beragam buah-buahan serta makanan lain.
Makanan-makanan
ini bukan sesajen untuk makam atau untuk hal sirik. Makanan ini adalah tanda
kesyukuran nelayan selama satu tahun yang mereka lewati kemarin. Sama halnya
ketika saya mentraktir teman-teman saat ulang tahun untuk mensyukuri nikmat
hidup selama satu tahun melewati umur saat itu. Saya bebas menentukan tempat
dan memilih menu makanan, membeli atau membuatnya sendiri.
Suasana di makam Dewi Sekardadu |
Karena tak mau
menyia-nyiakan kesempatan di tempat ini yang cuma singgah sebentar, kamipun
memanfaatkannya dengan menimkati es krim nostalgia di pinggiran tambak. Ya, es
krim korek yang dijual keliling saat masa kecil saya ini sudah sangat langka,
ditambah dengan udara sejuk yang masih sangat alami adalah dua perpaduan yang
tidak dapat kami temukan jika kembali ke kota.
Meriahnya Pesta Nelayan di Atas Air
Payau
Meski belum puas
di Kepetingan, kami terpaksa mengakhirinya karena khawatir ketinggalan perahu.
Perjalananpun berlanjut menuju muara sungai, pertemuan antara air sungai dan
air laut.
Pukul 11.30
matahari bersinar terik diatas kami, cuaca cerah meski banyak mendung
menggelanyuti langit biru. Akan tetapi sengatan panasnya masih bisa terbungkus
oleh angin dan udara yang diberikan tanaman bakau di tepi-tepi sungai. Melihat
berbagai perahu lain yang kami salip atau menyaksikan perahu lainnya yang saling
salip menjadikan pemandangan unik bagi saya untuk dijadikan bidikan kamara.
Tetapi akhirnya semua perahu memelan dan mematikan dieselnya, nampak puluhan
perahu mengapung di tengah-tengah setelah menempuh 30 menit perjalanan dari
Kepetingan.
Pada prosesi
inilah moment yang ditunggu anak-anak. Mereka melepas semua baju hingga
menyisakan celana dalam dan atasan kaos kutang bersiap untuk berenang. Saya
yang tidak bisa berenang, diam-diam mengagumi anak-anak ini yang tak takut
tenggelam. Rupanya saya salah, pada muara sugai kedalaman sungai sudah tidak
seberapa. Bahkan hanya sebatas pinggang anak kecil.
susana makan-makan di atas goyangan perahu |
Puluhan perahu
dibiarkan terapung dengan pemandangan anak-anak saling bermain melempar air,
atau bahkan ada yang memanfaatkannya dengan mencari kerang. Tak ketinggalan
dengung bunyi dangdutan pun terdengar dari sebuah perahu yang sengaja khusus
membawa sound system. Layaknya sebuah pesta sebenarnya, bedanya ini dilakukan
diatas air.
Sementara kami dan
para orang tua hanya bisa menyaksikan dan menunggui mereka dari atas perahu.
Satu tumpeng makanan yang tidak diikutkan dalam syukuran sebelumnya, menjadi
santapan kami siang ini. sungguh nikmat dan berbeda rasanya makan diatas laut
seperti. Apalagi dengan perahu yang dibiarkan terombang-ambing. Memang
beginilah pestanya nelayan, sungguh ini moment paling mengasyikkan dari semua
prosesi ini.
Puas berenang dan
kenyang makan, dengan sengatan matahari semakin terasa. Kamipun kembali ke
dermaga bluru degan membawa satu ember kecil kerang dan satu ekor ikan yang
baru saya tahu, mereka menyebutnya ikan mimi.
Capek dan lelah
begitulah yang terlihat, banyak penumpang perahu yang tertidur ketika
perjalanan pulang, sementara mesin diesel masih menjadi musik pengiring meski
kebisingannya sangat mengganggu dan memekakkan telinga.
Perjalanan Mecapai Ketingan dan
Estimasi Biaya :
papan petunjuk ke pasar ikan/ketingan |
Tempat ini tidak
jauh dari pusat kota Sidoarjo, arah timur alun-alun kota Sidoarjo menuju jalan
Yos Sudarso, lurus menuju Pasar Ikan baru. Untuk mencapai ke tempat ini
kebanyakan dari penduduk setempat mengandalkan motor kemudian diparkir di
rumah-rumah warga dengan tarif beragam, mulai dari Rp. 2.000 – Rp 5.000 per
hari.
Atau jika
memanfaatkan jasa angkutan umum, dari terminal purabaya menuju Sidoajo cukup
ditempuh dengan angkot dan berhenti di alun-alun Sidoarjo dengan tarif Rp.
3.000 – Rp. 3.500. Kemudian dilanjutkan dengan naik becak menuju dermaga Bluru
Kidul atau Pasar Ikan baru dengan tarif Rp. 10.000 – Rp. 15.000. Selanjutnya
bisa menyewa perahu motor nelayan seharga Rp. 300.000, bisa untuk mengangkut
kurang lebih 20 orang, sudah include ongkos dua orang supir perahu dan
keneknya. Penyewaan ini juga bisa sehari penuh, sampai sore atau sampai malam
tergantung kebutuhan dan perjanjian di awal sewa. Dan jika berminat berkunjung
ke tempat ini saya menyarankan untuk membuat rombongan agar bisa menekan budget
yang di keluarkan.
selamat berlayar: melajulah perahuku |
waah :))
ReplyDeleteKeren dan mengasyikan bisa melihat pesta budaya laut seperti ini. Suatu pengalaman yang sangat berharga.
ReplyDeleteSukses selalu
Salam wisata
meriah sekali, melestarikan budaya leluhur
ReplyDelete