Wednesday, May 15, 2013

Menengok Pesta Laut ala Rakyat Pesisir Sidoarjo

mejeng sebelum berlayar
Kepetingan –Pulau kecil bagian tenggara dari kabupaten Sidoarjo ini tak banyak orang tahu akan keberadaannya sekalipun penduduk Sidoarjo sendiri. Ketika suami berkesempatan pergi kesana untuk sebuah urusan kerja, saya tertarik dengan hasil liputannya yang mengabarkan ada sebuah makam Dewi Sekardadu, ibunda dari Raden Paku atau yang kita kenal dengan Sunan Giri yang berada di Gresik. Dan hari Minggu awal Februari ini saya berkesempatan pergi kesana lengkap dengan pengalaman baru, melihat secara langsung ritual Nyadran yang dilakukan oleh penduduk setempat.
suasana di atas perahu
Seremonial dimulai dari dermaga Desa Bluru Kidul oleh Bupati Sidoarjo dengan ditandai pelepasan puluhan balon ke udara. Suasana tampak meriah dengan iringan dangdut dan tepukan pengiring di pinggiran sungai. Perahu-perahu tradisional nelayan dihias berdasarkan kreativitas masing-masing, terparkir di pinggir-pinggir sungai telah siap melaju menunggu aba-aba pemandu acara. Tepat sebelum itu saya bersama empat orang rombongan pecinta petualang, Wiwik, Happy, Karni, dan Lukman dititipkan seorang teman setempat kepada pemilik perahu agar dapat mengikuti prosesi Nyadran sampai ke muara sungai yang diikuti lebih dari dua puluhan perahu nelayan.
Petualangan di Perjalanan Sungai
menikmati pesona sungai dan hawa sejuknya
Sebuah perahu tradisional dengan tenda penahan panas yang dihiasi bendera umbul-umbul dan beragam makanan dapur, sudah berkumpul ibu-ibu dan anak-anak yang siap menikmati panorama indah perjalanan sungai yang mungkin bukan pertama kalinya bagi mereka, tetapi mereka tetap sama antuasiasnya seperti kami yang baru mengalaminya saat ini.
Mesin diesel dari perahu-perahu mulai di nyalakan. Beberapa penonton yang tidak saling kenal di pinggiran suangi tampak melambaikan tangan kepada kami saat perahu mulai melaju. Meski saya tahu lambaian-lambaian mereka bukan sepenuhnya untuk kami yang merupakan pendatang, saya tak ragu untuk membalasnya bahwa kami akan kembali lagi ke dermaga ini. Ah, rasanya benar-benar tak jauh berbeda dengan naik kapal pesiar yang kami tonton di film Titanic itu. Lambaiannya tetap kami rasakan sepanjang bantaran sungai yang berpenduduk.
Arus sungai yang tenang, memberikan rasa nyaman pada perjalanan kali ini meski suara bising diesel membuat kami tak bisa banyak bercengkrama dan saling mengenal dengan ibu-ibu peserta Nyadran. Namun keakraban di dalam perahu terasa sangat kental. Perbekalan yang mereka bawa terhidang disana, mulai dari kerupuk udang dan petisnya yang terkenal dari Sidoarjo sampai gorengan, kacang rebus, serta tak ketinggalan air mineral yang memang telah dipersiapkan. Sementara kami sambil makan, sibuk membidikkan kamera kesegala arah penjuru sisi perahu.
Perjalanan baru dimulai, tiba-tiba mesin diesel di matikan, beberapa dari kami termasuk saya yang penasaran semburat berdiri dan ke luar atap melihat keadaan sekitar.
“Awas... Mbaaaaak, menunduuuuuuk,” teriak sopir perahu yang menjaga mesin diesel di belakang.
salah satu perahu besar
Saya sontak menunduk seketika. Rupanya perahu-perahu kami melewati bawah jembatan yang pembangunannya kurang tinggi. Sehingga ketika air sungai penuh banyak perahu yang kesusahan melewatinya. Segala pernah-pernik perahu yang tadinya didesain unik, terpaksa pada bagian yang menjulangnya harus di lepas, bahkan yang perahunya memang besar juga terpaksa melepas atapnya dan penumpangnya harus menundukkan kepala sampai dek perahu. Beruntung perahu yang kami tumpangi masih cukup melewatinya asal tidak ada yang berdiri seperti saya tadi.
Selepas itu tidak ada kendala berarti yang kami lewati. Setiap sisi perjalanan yang kami lihat tampak beragam tanaman bakau, juga beberapa burung bangau berleher jenjang berterbangan saat perahu kami mulai mendekatinya.
Pesona Kepetingan Dengan Dewi Sekardadu
jalanan setapak menuju makam
Satu setengah jam perjalanan mengikuti arus sungai, pukul 9.30 sampailah kami di tujuan wisata utama kali ini, makam Dewi Sekardadu. Konon, saat Syekh Maulana Ishaq, suaminya diusir raja Blambangan karena menyebarkan ajaran Islam, Dewi Sekardadu sedang hamil tua. Sehingga ia tidak ikut serta bersama suaminya.
Setelah anak laki-lakinya lahir. Bayi tersebut tidak diingikan oleh sebagian orang yang tahtanya terancam oleh kelahiran anaknya. Bayi mungil itu diculik, dimasukkan kedalam peti dan dipaku pada setiap tepinya, sehingga inilah yang membuat bayi mungil ini dikemudian hari dipanggil sebagai Raden Paku. Lantas melarungkan bayi dalam peti tersebut ke laut.
Dewi Sekardadu yang tahu hal ini, turut menceburkan dirinya ke laut untuk mengejar peti tersebut hingga dirinya meninggal di tengah laut karena tak mampu mengejarnya sementara Raden Paku sudah ditemukan oleh Dewi Pinatih dari Gresik.
Nelayan yang sedang melaut saat itu, menemukan mayatnya mengapung. Anehnya mayat tersebut mengapung karena di arak beramai-ramai oleh banyak ikan keting mengarah menuju sungai dimana disisi tersebut terdapat perkampungan warga. Oleh warga mayat tersebut dimakamkan dan menamakan daerah tersebut sebagai Kepetingan atau Ketingan, tempat transit Nyadran kali ini. 
depan pintu masuk sebelah timur
Sayangnya, ketika saya mencoba menerobos masuk agar lebih dekat dengan nisan. Banyak orang-orang yang memanfaatkannya untuk hal kesyirikan, menambah kekuatan, atau meminta pesugihan. Seperti pengakuan seorang ibu-ibu yang sempat saya tanyai ketika meminta sekar (bunga makam) kepada pak Samadi penjaga makam, hal itu ia lakukan untuk menambah penglaris dagangannya.

Cara Mereka Mensyukuri Nikmat
Karena tak banyak yang tahu, wisatawan yang datang ke tempat ini kebanyakan adalah warga lokal sekitar kecamatan Buduran, dan sebagian orang-orang Madura yang datang untuk mendoakan.
Kebetulan bertepatan saat acara Nyadran, tempat ini menjadi ramai. Meski jalanan setapak menuju makam masih berupa tanah liat, apalagi di musim hujan begini saat berjalan tanah seringkali menjerembab sepatu, saya tetap tak mau melewatinya. Bahkan rela melepaskan sepatu agar bisa berjalan lebih cepat.
Diatas balai-balai orang berkerumun yang terbagi dalam beberapa grup mengitari makanan yang sengaja turut serta mereka bawa. Nasi ayam panggang dalam tumpung yang amat sederhana dan beragam buah-buahan serta makanan lain.
Makanan-makanan ini bukan sesajen untuk makam atau untuk hal sirik. Makanan ini adalah tanda kesyukuran nelayan selama satu tahun yang mereka lewati kemarin. Sama halnya ketika saya mentraktir teman-teman saat ulang tahun untuk mensyukuri nikmat hidup selama satu tahun melewati umur saat itu. Saya bebas menentukan tempat dan memilih menu makanan, membeli atau membuatnya sendiri.
Suasana di makam Dewi Sekardadu
Begitupun orang-orang ini, mereka memilih membuat makanan sendiri dan membawanya kesini untuk makan bersama. Barulah setelah selesai membacakan doa, semua orang siap menyerbu makanan. Ada yang dimakan di tempat secara ramai-ramai, ada pula yang membungkusnya untuk dibawa pulang.
Karena tak mau menyia-nyiakan kesempatan di tempat ini yang cuma singgah sebentar, kamipun memanfaatkannya dengan menimkati es krim nostalgia di pinggiran tambak. Ya, es krim korek yang dijual keliling saat masa kecil saya ini sudah sangat langka, ditambah dengan udara sejuk yang masih sangat alami adalah dua perpaduan yang tidak dapat kami temukan jika kembali ke kota.
Meriahnya Pesta Nelayan di Atas Air Payau
Meski belum puas di Kepetingan, kami terpaksa mengakhirinya karena khawatir ketinggalan perahu. Perjalananpun berlanjut menuju muara sungai, pertemuan antara air sungai dan air laut.
Pukul 11.30 matahari bersinar terik diatas kami, cuaca cerah meski banyak mendung menggelanyuti langit biru. Akan tetapi sengatan panasnya masih bisa terbungkus oleh angin dan udara yang diberikan tanaman bakau di tepi-tepi sungai. Melihat berbagai perahu lain yang kami salip atau menyaksikan perahu lainnya yang saling salip menjadikan pemandangan unik bagi saya untuk dijadikan bidikan kamara. Tetapi akhirnya semua perahu memelan dan mematikan dieselnya, nampak puluhan perahu mengapung di tengah-tengah setelah menempuh 30 menit perjalanan dari Kepetingan.
Pada prosesi inilah moment yang ditunggu anak-anak. Mereka melepas semua baju hingga menyisakan celana dalam dan atasan kaos kutang bersiap untuk berenang. Saya yang tidak bisa berenang, diam-diam mengagumi anak-anak ini yang tak takut tenggelam. Rupanya saya salah, pada muara sugai kedalaman sungai sudah tidak seberapa. Bahkan hanya sebatas pinggang anak kecil.
susana makan-makan di atas goyangan perahu
Puluhan perahu dibiarkan terapung dengan pemandangan anak-anak saling bermain melempar air, atau bahkan ada yang memanfaatkannya dengan mencari kerang. Tak ketinggalan dengung bunyi dangdutan pun terdengar dari sebuah perahu yang sengaja khusus membawa sound system. Layaknya sebuah pesta sebenarnya, bedanya ini dilakukan diatas air.
Sementara kami dan para orang tua hanya bisa menyaksikan dan menunggui mereka dari atas perahu. Satu tumpeng makanan yang tidak diikutkan dalam syukuran sebelumnya, menjadi santapan kami siang ini. sungguh nikmat dan berbeda rasanya makan diatas laut seperti. Apalagi dengan perahu yang dibiarkan terombang-ambing. Memang beginilah pestanya nelayan, sungguh ini moment paling mengasyikkan dari semua prosesi ini.
Puas berenang dan kenyang makan, dengan sengatan matahari semakin terasa. Kamipun kembali ke dermaga bluru degan membawa satu ember kecil kerang dan satu ekor ikan yang baru saya tahu, mereka menyebutnya ikan mimi.
Capek dan lelah begitulah yang terlihat, banyak penumpang perahu yang tertidur ketika perjalanan pulang, sementara mesin diesel masih menjadi musik pengiring meski kebisingannya sangat mengganggu dan memekakkan telinga.
Perjalanan Mecapai Ketingan dan Estimasi Biaya :
papan petunjuk ke pasar ikan/ketingan
Tempat ini tidak jauh dari pusat kota Sidoarjo, arah timur alun-alun kota Sidoarjo menuju jalan Yos Sudarso, lurus menuju Pasar Ikan baru. Untuk mencapai ke tempat ini kebanyakan dari penduduk setempat mengandalkan motor kemudian diparkir di rumah-rumah warga dengan tarif beragam, mulai dari Rp. 2.000 – Rp 5.000 per hari.
Atau jika memanfaatkan jasa angkutan umum, dari terminal purabaya menuju Sidoajo cukup ditempuh dengan angkot dan berhenti di alun-alun Sidoarjo dengan tarif Rp. 3.000 – Rp. 3.500. Kemudian dilanjutkan dengan naik becak menuju dermaga Bluru Kidul atau Pasar Ikan baru dengan tarif Rp. 10.000 – Rp. 15.000. Selanjutnya bisa menyewa perahu motor nelayan seharga Rp. 300.000, bisa untuk mengangkut kurang lebih 20 orang, sudah include ongkos dua orang supir perahu dan keneknya. Penyewaan ini juga bisa sehari penuh, sampai sore atau sampai malam tergantung kebutuhan dan perjanjian di awal sewa. Dan jika berminat berkunjung ke tempat ini saya menyarankan untuk membuat rombongan agar bisa menekan budget yang di keluarkan.
selamat berlayar: melajulah perahuku

3 comments:

  1. Keren dan mengasyikan bisa melihat pesta budaya laut seperti ini. Suatu pengalaman yang sangat berharga.

    Sukses selalu
    Salam wisata

    ReplyDelete
  2. meriah sekali, melestarikan budaya leluhur

    ReplyDelete

Thanks for comming and no spam please

Follow
My twitter @ununtriwidana
My Instagram @nunuelfasa

Feel Free To Follow My Blog