Friday, February 24, 2012

Tentang Komitmennya Yang Tertunda


Komitment itu penting tapi bukan satu-satunya jalan menunjukkan cinta (Nunu El Fasa)

Di bawah pohon beringin ini tempat kami dulu berpisah arah. Tanpa berbye-bye ria seperti pasangan kekasih lain sekedar melambaikan tangan atau basa-basi mengucapkan kalimat sayang kami terus memacu langkah menuju masing-masing kelas kami yang berbada. Dia seniorku satu tahun di atasku. Begitupun selesai kuliah, disini pula tempat kami saling menunggu untuk mengantarku pulang.
Kami ngobrol sambil sesekali tanganku meraih akar beringin yang menjuntai mengurangi rasa gugup ini. Ku lumat, ku remas-remas dengan jariku, entah sudah berapa banyak akar yang kuhabiskan aku belum juga bisa menguasai segala rasa yang bergelanyut ini tentang seribu pertanyaan untuknya.

“Masih ingatkah aku dulu sering mengikat rambutmu dengan akar ini”

“Tidak ada yang aku lupa, tentangmu dan tentang kita disini. Kau tidak pernah bawel seperti teman-teman lainnya yang selalu menyuruhku memotong rambut gondrongku. Padahal saat itu aku menunggumu yang menyuruhku. Tapi kau dengan lembut merapikannya dengan akar ini”, dia tersenyum dan menolehku.

Aku tidak merasakan pacaran ketika itu, tapi aku merasakan betapa senangnya menjadi pacarnya. Meski tidak ada acara valentine, kado ulang tahun, atau sekedar bermalam minggu. Dia berbeda, itu yang membuat aku suka. Tapi dia orang yang penuh kejutan.

Pernah di hari jadi kami berdua yang tidak jauh di hari ulang tahunku. Dia membuat event musik dengan mengundang komunitas OI di Malang. Aku pikir ini adalah acara biasa. Tapi usai acara ketika semua panitia berkumpul makan-makan dan potong tumpeng di depan rekan-rekannya dia katakan tentang Aniversary pertama. Itulah kado terindahnya yang tidak pernah aku lupa.

Namun, di tahun keempat sebelum akhirnya aku di wisuda ibu mengungkapkan rahasia yang tidak kuduga tetang perjodohanku dengan anak kyai temannya ayah. Hingga akhirnya itu yang membuat kami berpisah. Aku menghilang begitu saja. Padahal niat untuk menikahiku sudah diutarakan di depan orangtuanya ketika aku bertandang ke rumahnya.

“maafkan aku, dulu…… “, aku terdiam ketika telunjuknya menempel di bibirku. Aku tak kuasa melanjutkannya.

“kau tidak perlu minta maaf, keputusanmu sudah tepat untuk taat kepada orangtua ketika itu. Aku tidak marah dan membencimu karenaak marah dan membencimu, keputusanmu sudah tepat untuk taat kepada orangtua. dan  rumahnya.  aku tidak salah memilih perempuanku”

“termasuk saat ini ketika kamu menikahi janda satu anak sepertiku ”

“aku selalu berharap kau bahagia bersama keluargamu, namun aku tidak kuasa setalah suamimu meninggal. Aku ingin menebus apa yang dulu pernah tertunda”

“jadi, ini bukan karena kasihan terhadap aku dan anakku kan”

“tidak”, katanya tegas. “Entahlah aku selalu mendapat segala firasat tentangmu. Kau mungkin lupa, kau sering mendapat sms dari nomor yang tidak kau kenal hanya sekedar mengingatkan ‘hati-hati’. Dan aku tidak mau mengangkatnya ketika kau berbalik menelponku. Termasuk sesaat sebelum suamimu kecalakaan itu.”

“kenapa kau melakukan itu? Ppadahal aku sudah berfirasat itu kamu dan ingin memastikannya sajaadahal aku sudah berfirasat itu kamu dan ingin memastikannya saja.suamimu kecalakaan"a firasat tentangmu.  'an anakku kan"?”
“aku hanya ingin menjaga cintaku, agar tidak menggangguidak mau mengangkatnya ketika kau berbalik menelponku. kebahagiaan rumah tanggamu”, jelasnya dengan menyentuh dada.

Aku bahagia mendengarnya. Dari dulu dia memang lelaki setia, dia tetap mencintaiku dengan caranya padahal sudah 10 tahun kisah kami berlalu namun dia datang dengan cinta yang tidak pernah berkurang bahkan setelah aku merasa sudah menyakitinya.

Anakku yang berumur 5 tahun itu berlari menghampiriku, “ibuuuuuuu… ini bunga, ayo kita ke makam ayah” serunya sambil membawa bunga yang dia rangkai dari taman UIN di depan sana.

“ayah baru,, mau kan menemani aku dan ibu ke makam ayah?”, pintanya kepada suamiku.

Dia meraih lengan anakku sampai di dadanya dan mendekatkan kedua hidung mereka seraya berkata, “tentu saja sayang”. Aku bahagia mengiringi di samping kirinya dan menggapit tangan suamiku sambil kurasakan rasa mual yang menghinggapi perutku sejak kemarin.

Maka Nikmat Tuhan Manakah Yang Aku Dustakanmereka seraya berkata, " m ayah?" setelah aku menyakitinya.
 dia datang dengan cinta yang sama. mungkin

6 comments:

  1. Wow cerpen ya mbak ...
    Keren, saya gak ikutan lagi. Tdk ada ide.
    Moga sukses yah :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. mencoba mba, lagi ada ide di tuangin aja. Ga menang akhirnya hehehe.... lumayan nambah arsip :)

      Delete
  2. Replies
    1. thanks,, but this is not artikel, tapi cerpen.. hehehhe....

      Delete
  3. buaguss bgtz cerpennya......... (^_^)b

    ReplyDelete

Thanks for comming and no spam please

Follow
My twitter @ununtriwidana
My Instagram @nunuelfasa

Feel Free To Follow My Blog