Hari menjelang Idul Fitri, banyak orang bersuka cita menantikan hari kemenangan yang tinggal setengah hari. Jalanan macet, pasar *prepekan ramai pengunjung dan anak-anak sebayaku pun turut bergembira. Kami berkumpul dihalaman bersorak-sorai menantikan hari dimana kami memakai baju baru, sepatu atau sandal baru dengan limpahan makanan dan jajanan enak khas lebaran. Ditambah lagi dengan uang saku lebaran membuat kami tak sabar menantikannya.
Akupun merasakan gembira yang sama seperti teman-temanku, hanya saja aku melewatinya dengan sederhana tanpa baju baru. Ibuku yang hanya seorang buruh pabrik gajinya hanya cukup untuk biaya hidup saja. Jangankan baju baru atau sepatu baru, untuk membayar sekolahku aku dibantu oleh panti Al-Hikmah tempat pengasuhanku.
Sejak ayahku meninggal ketika aku kelas lima sekolah dasar, aku sudah menjadi anak asuh panti tersebut yang menjadi asuhan ustad mochammad Ji’in. Disana aku banyak teman senasib denganku tapi aku tidak tega meniggalkan ibu dirumah sehingga aku memilih untuk tinggal bersama ibu dengan tetap mengikuti segala agenda kegiatan panti.
Dan sore itu, sebagai anak tunggal dan baktiku pada ayah, aku mengunjungi makamnya yang sudah menjadi tradisi kami di malam lebaran. Meski usiaku masih tergolong muda, 14 tahun, aku tak ragu pergi kemakan. Banyak kujumpa juga teman-temanku yang mengunjungi makan keluarganya tapi mereka ditemani ayah atau kakeknya. Dan aku, sendiri! Rasa takut yang menghinggapi sirna oleh rindu hati dengan ayah yang sudah tiga tahun meninggalkanku. Kini aku datang untuk menjumpai nisannya.
Sosoknya begitu sangat kurindukan. Jujur, saat-saat inilah aku sangat membutuhkannya, perhatian dan perlindungannya, serta dorongan semangatnya dalam meniti hidup ini. Kadang aku tak sanggup melihat ibu yang berjuang sendiri menafkahi keluarga. Beban hidupnya terlalu berat sebagai seorang wanita. Tapi ibuku wanita super yang selalu aku banggakan bisa menggantikan peran tanggung jawab ayah sebagai kepala keluarga merangkap perannya sebagai ibu yang begitu penyayang. Hingga saat malam takbiran seperti inipun, ibuku belum juga pulang, masih lembur kerja di pabrik.
Sehingga, bibiku yang sibuk di dapur sore itu, membuat makanan kenduri untuk ayah mengiringi ziarahku. Hingga aku pulang, ibu belum juga pulang, dan bibi masih belum selesai dengan kesibukannya. Aku berharap bisa membantunya supaya cepat selesai, tapi bibi tidak mengijinkan “tinggalkan pin, dicuci nanti saja kalau sudah beres semua”.
Sehingga, bibiku yang sibuk di dapur sore itu, membuat makanan kenduri untuk ayah mengiringi ziarahku. Hingga aku pulang, ibu belum juga pulang, dan bibi masih belum selesai dengan kesibukannya. Aku berharap bisa membantunya supaya cepat selesai, tapi bibi tidak mengijinkan “tinggalkan pin, dicuci nanti saja kalau sudah beres semua”.
Aku beranjak keruang tengah yang tak jauh jaraknya dari dapur. Kunyalakan TV untuk menyaksisakan kemeriahan Idul Fitri sambil menunggu kenduri. Tiba-tiba dari dapur tercium bau gas yang bocor, bibi yang ada didapur panik dan mematikan kompornya. Tapi bau gasnya tak juga hilang.
Memang, sebelumnya bibi lebih sering memakai pawon atau kompur kayu dan hanya beberapa bulan ini saja kami memakai kompor gas yang kami terima gratis dari pemerintah. Bibi bingung dan panik tidak tau apa yang harusnya dilakukan. Bibi membawa kompornya ke kamar mandi berharap bisa hilang kalau di masukkan dalam air. Namun sia-sia, belum sampai dikamar mandi, kompor gas yang di pegangnya meledak. Bukan ledakan biasa, ledakan petasan yang sedang dimainkan anak-anak di malam lebaran, bukan! Ledakan yang menghabiskan hampir separo rumahku. Rumah tetangga kiri dan kanankupun ikut menjadi korban.
Seketika aku merasakan api membakar tubuhku, sekujur tubuhku merasakan sakit ditusuk-tusuk api. Banyak kudengar orang menjerit dan berdatangan kerumah. Menerobos api menolong keluarga kami yang tak berdaya.
Yang ada dalam pikiranku hanyalah ibu, dimana ibuku? Bagaimana ibuku jika mengetahui hal ini. Belum kering lukanya ditinggal ayah, mara bahaya sudah datang menyapa. Dan bibiku? Bukankah tadi dia yang memegang kompornya? Bagaimana kondisinya? Ingin aku berlari menghampirinya dikamar mandi, melihat kondisinya. Tapi aku sendiri tak berdaya. Tubuhku kaku tak dapat bergerak.
Beberapa orang menolongku dan mendekap tubuhku dengan kain basah untuk menghangatkan. Dalam kondisi setengah sadar merasakan panasnya kulitku, aku di bopong ke mobil bersama bibi dan satu orang tetanggaku yang terkena ledakan. Tuhan…. Beginikah hidupku akan berakhir. Tak berdaya tubuhku diantara tangisan pengantar dalam mobil.
Entah berapa korbannya, yang kudengarkan hanyalah tangisan. Mungkin itu ibuku? Atau tangisan untuk jiwaku yang sudah terlepas dari ruhku? Semua penuh tanda Tanya yang tak dapat kuingat dengan pasti.Tau-tau aku bangun ibu sudah disampingku. Matanya sembab, menyembunyikan dan menahan tangisan duka yang menghinggapi hatinya. Bagaimana tidak karena kejadian itu, bibiku dan satu orang tetanggaku meninggal dunia. Ditambah lagi dengan kondisiku yang semakin kritis.
Entah berapa korbannya, yang kudengarkan hanyalah tangisan. Mungkin itu ibuku? Atau tangisan untuk jiwaku yang sudah terlepas dari ruhku? Semua penuh tanda Tanya yang tak dapat kuingat dengan pasti.Tau-tau aku bangun ibu sudah disampingku. Matanya sembab, menyembunyikan dan menahan tangisan duka yang menghinggapi hatinya. Bagaimana tidak karena kejadian itu, bibiku dan satu orang tetanggaku meninggal dunia. Ditambah lagi dengan kondisiku yang semakin kritis.
Luka bakar di tubuhku terjadi 80%, hampir habis dilalap sijago merah. Sekujur tubuh panas, setiap saat harus terkena kipas. Jika kipasan ibu berhenti sebentar saja, aku sudah menjerit, ingin menggaruk-garuk menahan gatal-gatal panas ini.Kaki, tangan, punggung dan mukaku sudah tidak berbentuk. Sudah tidak terlihat kulit lagi, daging memerah bekas terbakar. Sungguh sangat mengenaskan kondisiku. Sehingga aku harus operasi untuk memperbaiki tubuhku dan mengobati luka bakarnya.
Hari lebaran harusnya bergembira seperti yang kubayangkan kemarin sore, meski tanpa baju baru, sepatau atau sandal baru. Setidaknya tidak membuat ibu menangis dengan melihatku tergeletak dirumah sakit seperti mayat hidup.
Ya… Allah aku menambahi beban ibu, darimana ibu mendapatkan uang untuk membayar operasiku yang menelan uang dua belas juta. Sebanyak apa uangnya aku tidak tau. Tapi aku bisa memperkirakan uang itu sangat-sangatlah besar bagi seorang ibu rumah tangga yang hanya buruh pabrik.
Satu per satu tetangga membesukku, roti, susu dan buah menumpuk di meja. Tak jarang mereka menaruh iba kepada kelaurga kami memberikan uang, menyelipkan diantara lipatan selimut. Meski nilainya sangatlah sedikit dari nilai operasiku yang harus dibayarkan setidaknya aku bersyukur memiliki tetangga yang begitu mulia seperti mereka. Dan Alhamdulillah berkat usaha pak erte mengumpulkan sumbangan dari masyarakat, terkumpul dana untuk membayarnya.
Operasi pertamaku berjalan lancar, mukaku yang sudah tidak berbentuk memiliki daging tambalan yang diambilkan dari daging pahaku. Sangat tidak sempurna jika dibandingkan dengan ciptaan Tuhan sebelumnya. Aku menangis melihat perubahan wajah dan tubuhku. Malulah aku untuk bertemu dengan teman-temanku. Mau bagaimana lagi, inilah suratan yang harus ku terima! Lha haula wala kuwaata illah billah.
Hingga operasi yang kedua, tak juga dapat mengembalikan percaya diriku. Karena vonis dokter memperkirakan aku akan cacat seumur. Toh juga tidak bisa sembuh seutuhnya, aku memilih hengkang dari rumahsakit agar tidak banyak uang yang dikeluarkan.
Kejadian ini sudah berlalu hampir satu semester, dan selama itu pula aku tidak masuk sekolah. Teman-teman dan guruku datang kerumah mengharapkan kehadiranku disekolah bersama mereka. Keinginan itu sangat kuat tertanam dihati, bisa sekolah lagi. Tapi untuk berdiri dan berjalan saja aku tidak bisa, setiap hari tubuhku hanya terbaring lemah diatas dipan dengan kipas angin terus memutar di sampingku. Karena, tubuhku terasa kepanasan dan gatal-gatal jika semenit saja terlepas dari kipas angin.
Apakah aku akan terus begini? Aku tidak mau. Aku ingin sekolah. Bagaimanapun aku juga memiliki cita-cita dan pengharapan menjadi seorang guru. Seperti teman-teman aku juga ingin membanggakan orang tuaku dan tidak mau hanya menjadi beban baginya.
------------------
Semua yang terjadi pada diri Arifin adalah kuasa Allah SWT. Tidak ada yang bisa menolak jika sudah sekenarionya. Dalam kondisi keyatiman dan kemiskinannya Arifin juga harus menanggung derita seumur hidup akibat kecelakaan yang tidak pernah dimintanya. Bencana itu ibarat pisau yang telah memotong talinya untuk mencapai pengharapannya. Diri dan keluarganya sudah berusaha menyambung tali itu. Namun masih belum kuat dan masih perlu bantuan untuk menguatkan simpul ikatannya. Andakah itu??
Surabaya, 22 Juni 2010
Nunu El-fasa
------------------
Semua yang terjadi pada diri Arifin adalah kuasa Allah SWT. Tidak ada yang bisa menolak jika sudah sekenarionya. Dalam kondisi keyatiman dan kemiskinannya Arifin juga harus menanggung derita seumur hidup akibat kecelakaan yang tidak pernah dimintanya. Bencana itu ibarat pisau yang telah memotong talinya untuk mencapai pengharapannya. Diri dan keluarganya sudah berusaha menyambung tali itu. Namun masih belum kuat dan masih perlu bantuan untuk menguatkan simpul ikatannya. Andakah itu??
Surabaya, 22 Juni 2010
Nunu El-fasa
No comments:
Post a Comment
Thanks for comming and no spam please
Follow
My twitter @ununtriwidana
My Instagram @nunuelfasa