Bisa menulis (bukan menjadi penulis?) adalah impian terpendamku sejak SMA. Maklum aku memiliki teman duduk yang hobi sangat dengan menulis. Ira namanya. Setiap kali punya tulisan dia selalu menyodorkannya kepadaku. Dan aku menjadi satu-satunya orang (teman mungkin) yang mengagumi karyanya sebelum dia jadi penulis nantinya, pikirku saat itu. Yap, itu karena tulisan-tulisan Ira bukan untuk konsumsi umum, dipasang di madding mungkin, atau dikirim ke majalah? Tidak. Ira hanya senang menulis, kalau bukan aku yang merebut kertasnya saat itu, mungkin aku tidak pernah menghargai tulisannya yang sudah memotivasiku untuk menulis saat ini.
Tapi, aku heran darimana Ira bisa menulis? Dia juga bukan anggota kru Mading, dia sama seperti aku yang sama-sama mendapatkan pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi selembarpun aku belum pernah bisa menulis. Jangankan iseng-iseng menghasilkan tulisan. Menulis cerita liburan untuk sebuah tugas saja aku sulit memulainya.
Dan aku baru mengetahui kuncinya ketika aku sudah lulus SMA -(Kuharap teman-teman yang membaca ini bisa sadar lebih awal, supaya tidak seperti aku), jauh setelah SMA aku sempat kerja melalang buana, kuliah dan baru kemudian mulai mengenal blog. Blog bagiku rumah di dunia maya. Seperti halnya rumah yang harus diisi dengan berbagai macam perabotan, memiliki blog juga harus rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Tulisan yang selalu terupdate inilah yang menandakan rumah maya ini berpenghuni dan selalu hidup.
Di dunia orang mengatakan “Dunia tak selebar daun kelor”, tapi di dunia maya aku bisa bicara “Dunia maya tak sesempit di dunia nyata”. Sekali meng-klik bisa saja aku tersesat, dan kenyataannya demikian benar aku tersesat dalam komunitas Forum Lingkar Pena (FLP) yang entah darimana aku menemukan.
Aku bersyukur, aku beruntung walau hanya sebatas via online, aku tergabung di dalamnya. Beragam tulisan narsis setiap harinya dalam inbox emailku. Aku iri, aku juga ingin seperti mereka yang bisa menulis, kemudian di baca banyak orang. Apalagi jika aku menemukan tulisan dari mba Helvy atau mba Asma Nadia yang menceritakan dirinya sedang traveling, Subhanalloh kapan aku seperti mereka. Dari membaca beragam tulisan teman-teman inilah aku mulai tergerak untuk memulai menulisya alamat grupnya yangerak untuk memulai menulisinya sedang traveling, subhanalloh kapan aku
Dan menyesalnya,ternyata aku baru tahu darimana Ira bisa menulis. kuncinya sederhana, Ira lebih sering ke perpustakaan daripada ke kantin ketika jam Istirahat sekolah. Ira lebih banyak membaca dari pada aku yang lebih banyak makan di kantin.
Aku memulai menulis dari membaca. Aku tidak hanya membaca artikel-artikel online yang disodorkan teman-teman di inbox emailku. Aku juga membeli beragam buku yang aku suka, mulai dari cerita komedinya Dewi Dedew Rieka, Novel-novelnya mba Ifa Avianty, sampai buku beratnya Filosofis Islam Modern Agus Mustofa. Aku membeli buku bukan karena penulisnya, tapi dari apa yang ia tulis yang bisa aku baca dari sinopsisnya, dan dari sanalah kadang buku tersebut bisa memikatku.
Untuk apa buku itu? Selain dibaca dan mengoleksinya. Buku-bukuku bisa jadi kamus tersendiri bagiku. Yap… itu ketika aku kesulitan untuk memulai menulis, atau kadang ketika ideku putus di tengah jalan. Aku mengambil energy dengan membaca kembali buku yang cocok dengan genre yang aku tulis.
Misalnya ketika aku kesulitan ingin memulai menulis buku catatan harian komedi, buku-buku Raditya Dika yang sudah tertata rapi di rak buku bisa saja melompat berserakan di kamar tidur. Atau kadang bisa juga sampai lecek kebanyakan aku lipat-lipat untuk menandai halaman tulisan-tulisan atau quote yang aku suka. Dan aku juga tidak ragu untuk membeli buku dari para penulis baru, hanya ingin belajar banyak tentang gaya penulisan masing-masing penulis.
Setelah tulisanku jadi satu halaman, subhanalloh seneng banget ternyata aku bisa nulis juga. Namun aku masih belum pede dengan tulisanku. Setelah aku mencetaknya menjadi buku yang lebih mirip foto copyan itu, aku memberikan tulisanku kepada teman-teman di kantor dan aku di tertawakan. Aku belum gagal. Menulis memang tidak mudah, tapi bukan berarti aku tidak bisa. Oleh karena itu aku mencoba lagi, dan mencoba lagi.
Ketika aku mengedit tulisanku, ada sebuah lomba yang temanya sama dengan tulisan yang aku tulis. Iseng-iseng aku mengirimkannya. Dan subhanalloh tanpa kuduga, tiga bulan waktu yang hampir tidak pernah kunantikan. Seorang memberitahuku, bahwa aku masuk menjadi pemenang nominasi 30 besar. Senang bukan main, walau hanya 30 besar dan bukan juara. Karena ini penghargaan pertama dari apa yang kutulis.
Dari sana aku mencoba lagi hal sama yang pernah ku lakukan dengan gambaran diagram di bawah ini, yang mungkin lebih mirip dengan rantai makanan tikus. Tapi tak apa yang penting mengerti maksudnya:
Membaca ==> Menulis ==> Edit ==> Kirim ==> lupakan ==> membaca lagi==> dst.
Bisa juga berubah menjadi seperti ini.
Membaca ==> membaca ==> membaca==> menulis ==> biarkan mengendap di file==> menulis ==> membaca ==> buka file lama kemudian edit ==> kirim ==> lupakan.
Pada intinya menulis itu selalu diawali dengan membaca, darimana bisa menulis kalau tidak pernah membaca? Bisa juga sih. Namun aku rasa hanya penulis Egois yang hanya mau menulis saja tanpa pernah mau membaca. Membaca karya orang lain bagi aku adalah sebuah penghargaan terbesar dari seorang pembaca kepada penulis.
Dan semua tulisan harusnya juga diakhiri dengan Send atau kirim. Terserah penulis mau dikirim kemana tulisannya. Ada banyak media yang bisa di pilih. Majalah, penerbit, blog, notes Facebook, atau sekedar mencetak dan membagi kepada teman seperti yang pernah aku lakukan, penulis yang memilih. Yang penting tulisan tersebut bisa dibaca orang Karena karya yang bisa di baca oleh banyak pembaca akan menjadi kebanggan penulis tersendiri tentunya[.]
Untuk apa buku itu? Selain dibaca dan mengoleksinya. Buku-bukuku bisa jadi kamus tersendiri bagiku. Yap… itu ketika aku kesulitan untuk memulai menulis, atau kadang ketika ideku putus di tengah jalan. Aku mengambil energy dengan membaca kembali buku yang cocok dengan genre yang aku tulis.
Misalnya ketika aku kesulitan ingin memulai menulis buku catatan harian komedi, buku-buku Raditya Dika yang sudah tertata rapi di rak buku bisa saja melompat berserakan di kamar tidur. Atau kadang bisa juga sampai lecek kebanyakan aku lipat-lipat untuk menandai halaman tulisan-tulisan atau quote yang aku suka. Dan aku juga tidak ragu untuk membeli buku dari para penulis baru, hanya ingin belajar banyak tentang gaya penulisan masing-masing penulis.
Setelah tulisanku jadi satu halaman, subhanalloh seneng banget ternyata aku bisa nulis juga. Namun aku masih belum pede dengan tulisanku. Setelah aku mencetaknya menjadi buku yang lebih mirip foto copyan itu, aku memberikan tulisanku kepada teman-teman di kantor dan aku di tertawakan. Aku belum gagal. Menulis memang tidak mudah, tapi bukan berarti aku tidak bisa. Oleh karena itu aku mencoba lagi, dan mencoba lagi.
Ketika aku mengedit tulisanku, ada sebuah lomba yang temanya sama dengan tulisan yang aku tulis. Iseng-iseng aku mengirimkannya. Dan subhanalloh tanpa kuduga, tiga bulan waktu yang hampir tidak pernah kunantikan. Seorang memberitahuku, bahwa aku masuk menjadi pemenang nominasi 30 besar. Senang bukan main, walau hanya 30 besar dan bukan juara. Karena ini penghargaan pertama dari apa yang kutulis.
Dari sana aku mencoba lagi hal sama yang pernah ku lakukan dengan gambaran diagram di bawah ini, yang mungkin lebih mirip dengan rantai makanan tikus. Tapi tak apa yang penting mengerti maksudnya:
Membaca ==> Menulis ==> Edit ==> Kirim ==> lupakan ==> membaca lagi==> dst.
Bisa juga berubah menjadi seperti ini.
Membaca ==> membaca ==> membaca==> menulis ==> biarkan mengendap di file==> menulis ==> membaca ==> buka file lama kemudian edit ==> kirim ==> lupakan.
Pada intinya menulis itu selalu diawali dengan membaca, darimana bisa menulis kalau tidak pernah membaca? Bisa juga sih. Namun aku rasa hanya penulis Egois yang hanya mau menulis saja tanpa pernah mau membaca. Membaca karya orang lain bagi aku adalah sebuah penghargaan terbesar dari seorang pembaca kepada penulis.
Dan semua tulisan harusnya juga diakhiri dengan Send atau kirim. Terserah penulis mau dikirim kemana tulisannya. Ada banyak media yang bisa di pilih. Majalah, penerbit, blog, notes Facebook, atau sekedar mencetak dan membagi kepada teman seperti yang pernah aku lakukan, penulis yang memilih. Yang penting tulisan tersebut bisa dibaca orang Karena karya yang bisa di baca oleh banyak pembaca akan menjadi kebanggan penulis tersendiri tentunya[.]
yupz betul banget mbak. kadang kita terlalu egois untuk tidak membaca karya orang lain, karena kita ingin menjadi diri kita sendiri. kita ingin dikenal oleh orang lain secara murni, tidak mengikuti gaya tulisan orang lain. hehehe, itu juga pernah terjadi pada diri saya. padahal setiap orang memiliki kekhususan masing-masing. dan membaca itu bisa memunculkan ide-ide segar. suiipp tips nya. te o pe be ge te wat mbak Nunu. :-)
ReplyDeletesaya sepakat dengan komentar mba Masya,, Thumbs up :D
Deletehihii, saya suka nulis tapi gak terlalu suka baca XD
ReplyDeletebegitukah? berarti,,,,,,,,,,,,, :D
DeleteBuku merupakan gudang ilmu, terkadang kita sering mendapatkan ide yang terinspirasi dari setiap buku yang kita baca untuk menambah daftar pustaka yang kita dapat dalam berbagi pengetahua dan pengalaman.
ReplyDeleteSalam
perkenalan dari saya pada kunjungan perdana saya ini.
Sukses selalu
Salam.
salam kenal, terimakasih kunjungannya. tunggu kunjungan saya di blog Masatours :D
Deletesukaa deh sama postingan mbak..
ReplyDeletekalau kita memang mau menulis ya harus banyak membaca.. meski saya belum menjadi penulis, baru sekedar blogger dan nulis di FB, pernah menang kontes kecil2an tapi saya tetap senang dan bangga bahwa saya bisa menulis dan dinikmati orang lain, bukan hanya disimpan sendiri.. kadang teman2 lama bertanya kok saya bisa menulis? saya bilang aja karena saya sangan suka membaca.. :-D
*membaca karya orang lain itu juga salah satu proses belajar menulis ya mbak :-)
salam dan sukses selalu..
yups, benar membaca karya orang lain termasuk dalam proses belajar menulis, banyak yang bisa kita ambi. mulai dari gaya tulisan sampai hikmah dalam tulisan tersebut. saya sendiri merasakan manfaat dari membaca, ketika saya mmebaca tulisan lama yang hampir tidak pernah saya membaca kecuali membaca koran, dengan sekarang ketika saya mau membaca dan mengoleksi buku, SAngat berbeda.... menjadi lebih banyak kosakata dsb..
Delete