Dalam sesion bedah buku Jangan Menyerah, memotivasi anak-anak Yatim Yogyakarta |
Menjadi Yatim bukan sebuah pilihan, jika aku boleh memilih aku juga ingin hidup sempurna seperti yang lain bersama Bapak Emak sampai mereka tua menyaksikan aku lulus sekolah, menikmati hasil kerjaku, menjadi wali nikah, atau bahkan juga merasakan bagaimana merawat mereka saat tua. Namanya takdir, sebagai yatim aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya, pasrah dan tetap bersyukur apapun kondisinya.
Tetapi tidak semua anak Yatim demikian, termasuk aku dulu sempat psimis dengan kehidupanku sendiri. Bayang-bayang bagaimana aku akan melanjutkan sekolah? Bagaimana aku bisa makan dan bagaimana-bagaimana-bagaimana yang lain, hingga 1 Mei kemarin dihadapan anak-anak yatim Yogyakarta, pengasuh panti, dan teman-teman panitia dari Yatim Mandiri Yogyakarta aku flash back kembali tentang bagaimana perjuanganku menakhlukkan semuanya. Dan aku baru menyadari ternyata semua bisa kulewati dengan baik, hingga aku bisa menjadi seperti sekarang.
Memang tidak mudah, terkadang masyarakat masih memandang sebelah mata dengan keyatiman. Menganggap anak yatim perlu dikasihani sehingga yang dibutuhkan hanya uang dan makan. Padahal jauh lebih baik bila kami diberi kail daripada ikannya. Apalagi kerap ketika anak yatim hidup di panti asuhan, setiap hari dijejali ikan matang tanpa tahu bagaimana proses mendapatkannya, tanpa dibekali bagaimana ia bisa bertahan hidup di tengah masyarakat nantinya.
Bapak memang tempat mencari nafkah, tempat bergantung ketika kami butuh uang jajan atau bayar sekolah. Begitupun, ibu juga tempat jujukan ketika kami kelaparan, masakan-masakannya selalu kami rindukan. Tetapi tahukah? Saat kami kehilangan salah satu atau keduanya, kami kehilangan segalanya. Bukan tentang hanya makan dan uang, lebih dari itu yatim amat mendambakan kasih sayang terutama semangat hidup yang sama ketika Bapak Ibu masih hidup.
Dan semangat itu bisa didapatkan ketika kita mempunyai cita-cita. Bagiku cita-cita bukan ada di langit atau menggantung di awan yang tak dapat kita raih. Tapi ia tertanam dalam hati (read: jantung) pemiliknya. Ketika langkah hidup mulai goyah. Alarm cita-cita akan berdenyut mengingatkan pemiliknya. Dan ketika itu terjadi semangat akan mengepul kembali. Tinggal kita mau bergerak atau tidak.
Menerima plakat kenang-kenangan dari Yatim Mandiri Yogya oleh Bapak Eko Pambudi Kacab Yatim Mandiri Yogyakarta |
Foto bersama moderator Mbak Floweria, Bapak Eko Pambudi, Mas Eko Prayitno Penulis Orang Miskin Dilarang Sakit dan Aku |
semangat sist,,,,
ReplyDeleteSetuju banget, sebaiknya jangan beri ikan, tapi berilah kail. Supaya anak-anak yatim bisa tumbuh jadi sosok yang mandiri....
ReplyDeleteSaya setuju mbak, selama ini memang benar masyarakat hanya memberi "ikan matang". Ktika diberi kail, anak-anak yatim akan tahu bagaimana membuat hidupnya lebih baik :)
ReplyDeletemantep! cita-cita gue pengen nyari jantung hati ... :)
ReplyDeleteibu drumah kbtln ngelola panti asuhan..dlu byk tp skrg udh sedikit byk yg gengsi mbk nu....plg senengggg bgt dijenguk alumni panti asuhan zmn dulu yg sudah sukses....keren ah mbk nunu...terus menginspirasi ;)
ReplyDeleteInspiratif mbak postingannya, sepakat dgn pendapat Ditter di atas :)
ReplyDeleteIya sayang, banyak yang salah ya. Penting bisa kasih jajan anak yatim. atau parahnya lagi, penting setahun sekali bisa kasih sekian puluh/ratus ribu pada mereka.
ReplyDeleteMakasih ya sudah diingetin. :)
Wah, keren nih :))
ReplyDeleteSebagian pemikiran orang masih salah ya, Mbak.. Menurut ku sih balance, antara ngasih makanan, pakaian dan juga ilmu. Lengkap deh jadinya dan In Shaa Allah anak-anak yatim punya bekal ilmu dan skill buat ke depannya ^^
ReplyDeleteBetul, Kak. Sekarang kalau lagi ngasih sumbangan sumbangan (untuk anak yatim atau fakir) gitu emang lebih baik nyumbang ilmu yang bermanfaat supaya bisa dipakai untuk seterusnya. Walaupun memang terkadang mereka butuhnya "ikan mateng", hehe. Balance aja deh 50:50 antara ikan mateng : kailnya :D
ReplyDeleteThanks for sharing kak, tulisannya menginspirasi :)